Jumat, 24 Mei 2013

KETIKA KALIAN MENCELA KAMI....



Sungguh mengherankan, ketika kalian mengetahui keadaan kami, justru celaan yang kalian lontarkan. Padahal kami sendiri ridha dan bersabar dengan keadaan kami. Tidak berbeda dengan kalian, saat pertama menapaki gerbang pernikahan, tentu kami mengharapkan segera memilki keturunan. Namun jika Allah ‘azza wajalla menghendaki kami tidak segera memilikinya, maka kami hanya berusaha untuk sabar dan terus berikhtiar dengan cara yang benar.
Sungguh mengherankan, kalian mencela kami. Padahal ini adalah urusan yang mutlak berada di tangan-Nya. Jika suami istri memiliki keturunan, itu semata-mata karena kekuasaan Allah ‘azza wajalla, bukan karena kehebatan suami istri tersebut yang mampu menghendaki terjadinya pembuahan dalam rahim sang istri.
Kalian mencela kami, padahal suami kami sendiri adalah orang yang paling ridha dengan keadaan kami. Allah melebihkan kami dengan memiliki suami yang hatinya selalu dipenuhi kesabaran dan keridhaan. Yang selalu menampakkan kasih sayang dan kelembutan. Sesuatu yang mungkin tidak kalian dapati pada suami kalian. Bahkan kalian sering mengeluhkan suami kalian yang kaku, kasar dan acuh tak acuh. 
Suami kami tidak pernah menyesali keadaan kami meski telah mengetahui apa yang Rasulullah sabdakan,
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur (bisa melahirkan banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain di akhirat nanti”. (HR. Abu Dawud)
Bahkan suami kami adalah orang yang paling bisa menghibur kami, membesarkan hati kami dan menguatkan harapan kami.
Kami semakin heran, ketika kalian mencela kami karena kalian merasa lebih beruntung.. Ketahuilah, kami tidak merasa iri kecuali pada 2 orang yang Allah ijinkan: pada seseorang karena ilmu agamanya dan pada orang kaya yang suka bersedekah.
Allah telah memberi kalian keturunan-keturunan yang bisa kalian banggakan. Namun tidak pernah menyadari bahwa mereka adalah ujian bagi kalian. Kalian tidak pernah tahu tentang apa yang Allah ‘azza wajalla peringatkan;
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghaabun:14-15)
Kalian tidak menyadari saat terlalaikan oleh anak-anak kalian. Mereka menghalangi kalian dari beramal shalih. Lebih fatal, ketika kalian lalai mendidik mereka karena sibuk mencari nafkah untuk mereka. Jadilah, kalian mengeluh ketika mereka menjadi anak-anak yang memiliki akhlak dan tabiat jelek. Kalian mencela mereka, padahal kalian mencela diri kalian sendiri.
Kami juga tak habis pikir, jika ada di antara kalian menyarankan kami untuk melakukan apa yang paling Allah ‘azza wajalla larang. Kalian menasehati kami untuk meminta bantuan orang pintar, ustadz atau kyai yang hakikatnya sama dengan dukun. Kalian menyuruh kami untuk menyekutukan Allah! Wa’iyaudzubillah….
Kalian tak mengerti, yang paling kami takuti dan hindari adalah terjerumus pada hal-hal seprti itu. Karena kami sadar –dengan taufik dari Allah- bahwa ini tak sekedar ujian bagi dunia kami, namun juga keimanan kami. Tak akan kami gadaikan keimanan kami demi sebuah perhiasan dunia. Tak akan kami serahkan urusan kami pada makhluk, padahal Allah ‘azza wajalla lebih Maha Kuasa atas segala-galanya.
Ketika kalian mencela kami, tidaklah kami merasa takut lagi resah. Karena celaan kalian sama sekali tak memberi madharat bagi kami, pun manfaat bagi kalian. Hanya Allah yang mampu memberi manfaat dan madharat pada manusia.
Ketika kalian mencela kami, tidaklah kami semakin putus asa. Karena ada Allah sebagai tempat kami bergantung dan meminta pertolongan. Sehingga, ketika kalian mencela kami, tidaklah setelah itu Allah datangkan pada kami orang-orang yang menghibur kami. Ya, tidak semua orang seperti kalian. Masih banyak orang-orang yang bisa memahami kami. Lebih dari itu, mereka lebih memahami perkara takdir. Mereka mengajari kami cara bersyukur dan bersabar atas segala ketetapan Allah. Mereka kabarkan kisah-kisah nabiyullah dan orang-orang terdahulu yang pernah mendapat cobaan seperti kami untuk kami petik hikmah dan pelajaran di dalamnya. Mereka mengajarkan pada kami do’a untuk meminta keturunan yang sholeh
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Tuhan kami, anugerahilah kiranya kami ini dari isteri-isteri dan keturunan kami yang men­jadi cahaya mata, dan jadikanlah kiranya kami ini menjadi Imam orang-orang yang bertakwa kepada Engkau. (Al Furqan :74)
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٲنَ رَبِّ إِنِّى نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِى بَطۡنِى مُحَرَّرً۬ا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىٓ‌ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ


Ingatlah, ketika isteri ’Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Ali Imran:35)

 
قَالَ رَبِّ إِنِّى وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّى وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَيۡبً۬ا وَلَمۡ أَڪُنۢ بِدُعَآٮِٕكَ رَبِّ شَقِيًّ۬ا (٤) وَإِنِّى خِفۡتُ ٱلۡمَوَٲلِىَ مِن وَرَآءِى وَڪَانَتِ ٱمۡرَأَتِى عَاقِرً۬ا فَهَبۡ لِى مِن لَّدُنكَ وَلِيًّ۬ا (٥) يَرِثُنِى وَيَرِثُ مِنۡ ءَالِ يَعۡقُوبَ‌ۖ وَٱجۡعَلۡهُ رَبِّ رَضِيًّ۬ا (٦
Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku. (4) Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabat-kerabat priaku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, (5) yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". (6) (Maryam:4-6)
Kemudian mereka juga menghibur kami, bahwa kami tetap bisa mendapatkan pahala dan kebaikan seperti kalian yang telah memiliki keturunan, Yaitu dengan berbuat baik kepada anak saudara-saudara kami. Membantu meringankan beban anak-anak yatim dan miskin. Atau bahkan turut mengasuh dan mendidik mereka. Mengajarkan pada mereka ilmu dien, sehingga mereka mengenal kebaikan lewat tangan kami. Namun, kami tak mengenal istilah ‘anak pancingan’. Karena bukan anak-anak itu yang memberi manfaat pada kami. kami hanya berharap, kebaikan kami mendatangkan ridha dan rahmat dari Allah ‘azza wajalla.
Ketika kalian masih mencela kami….
Sungguh kami tak menaruh dendam sedikit pun. Semoga itu semata karena ketidaktahuan kalian; karena jauhnya kalian dari ilmu agama. Maka kami pun mendo’akan kalian, agar Allah memberikan hidayah sehingga kalian tidak keliru memandang perkara ini. Baarokallahufiikum.

Rabu, 15 Mei 2013

BADAI PASTI MENGGUNCANG LAYAR YANG BARU TERKEMBANG



Lamanya proses saling mengenal (baca:pacaran), bukan penentu dua insan yang terikat tali pernikahan bisa saling memahami dan menerima satu sama lain. Yang lama sudah saling mengenal sebelum menikah bukan berarti bebas dari masalah. Apalagi istilah ‘pacaran’ tidak pernah dikenal oleh kamus Islam sebagai salah satu proses yang harus dilakoni menjelang pernikahan. Allah ta’ala dan Rasul-Nya mencukupkan kita dengan proses yang suci nan terjaga (nazhor, ta’aruf dan khitbah) untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Adapun ujian yang menerpa setiap biduk rumah tangga, maka itu adalah ketetapan yang Allah gariskan. Tidak ada mahligai pernikahan yang Allah bebaskan dari cobaan. Permasalahan pasti mengetuk setiap pintu rumah, angin cobaan akan berhembus dari arah mana saja yang Allah kehendaki. Tanpa kecuali.
Menyadari hal tersebut, tidak ada kata lain selain tawakal ketika kaki ini mulai menapaki gerbang pernikahan. Dengan status sama-sama masih mahasiswa, kami belajar mengatur kehidupan yang hanya mengandalkan gaji seorang guru qiraaty. Menempati rumah kontrakan sederhana di tengah lingkungan kampung, kami belajar bagaimana berinteraksi dengan realita dunia. Sama-sama jauh dari sanak keluarga, kami berusaha mandiri; mencukupi segala hajat hidup dari keringat sendiri. Sebagai hamba, kami tidak bisa menawar jenis ujian yang akan Allah berikan. Kami hanya yakin, Allah tabarokawataa’la tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan. Ujian yang Allah pilihkan adalah sesuai dengan sifat Allah yang Maha Adil dan Maha Penyayang.
Kami pun tiada menyangka, sang pemilik kontrakan yang tinggal tepat di sebelah kami –bahkan masih satu atap- adalah batu ujian bagi kami. Usianya yang sudah renta tak jadi alasan untuk selalu bersikap kasar. Memiliki anak perempuan yang dibawa suaminya jauh ke Kanada, tak melembutkan hatinya untuk berbaik hati padaku; anak perempuan yang juga jauh dari orangtua. Jika sedang ditinggal suami mengajar atau kuliah, tak jarang kututup telinga demi mendengar umpatan-umpatannya. Seringkali tiba-tiba air mati padahal aku belum usai mandi. Cucianku yang memenuhi jemuran selalu jadi sasaran kemarahan. Dianggap menghabis-habiskan air. Tapi tak jarang juga ia marah-marah tanpa alasan.  Apakah mungkin kami sebagai pasangan muda kurang bisa membawa diri? Padahal sekuat tenaga kami penuhi hak-haknya. Meskipun hak kami sering dibatasai. Kami tak pernah menolak diberi makanan meski kami tak suka. Kami selalu menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Tak pernah ada suara gaduh dari kami yang mungkin mengganggu. Kami pun tak keberatan jika tagihan air dan listrik dibebankan pada kami semua. Padahal tak ada alat elektronik apapun semacam TV, kulkas apalagi mesin cuci yang kami miliki. Namun tetap, kebaikan-kebaikan yang kami upayakan tak merobohkan segala sifatnya yang sangat membuat kami -terutama diriku- merasa tertekan.
Saat coba kuutarakan dengan seorang teman yang kebetulan tinggal berada dalam satu lingkungan, memang kudapatkan pembenaran. Bahwa memang begitulah karakter si pemilik kontrakan, semua orang sudah mengenalnya. Tapi tidak kuperoleh saran apalagi bantuan bagaimana bisa keluar dari masalah kami. Maka hanya kesabaran, yang semoga mampu membuat kami bertahan. Jika harus pindah kontrakan, uang kami sudah tak cukup. Biaya kuliah kami berdua saja sudah melepas perhiasanku satu persatu. Kami harus tetap fokus pada kuliah yang sekarang tinggal sejengkal lagi; skripsi. Ke kampus berarti menempuh perjalanan yang lumayan dari Tembalang, tapi semangat untuk segera lulus tak membuatku merasa lelah harus bolak-balik setiap hari. Pun juga dengan suami, aku harus sabar menunggu hingga malam sendirian karena mata kuliah yang harus ia ikuti masih lumayan; mengganti satu semester yang dulu pernah ia tinggalkan karena kehabisan uang. Hingga tidak kusadari bulan itu aku sudah telat 1 pekan. Sebelum memastikannnya ke dokter, masih kutahan luapan kegembiraan menjadi seorang calon ibu.
Beberapa rumah sakit kami datangi, ternyata semua dokter kandungan perempuan sedang mengikuti konferensi nasional. Maka, karena darurat terpaksa kuperiksakan kandungan pada dokter laki-laki yang usianya tak lagi muda.
“Anda harus bedrest. Jika masih jadi rezeki, insya Allah akan bertahan sampai kandungan anda dinyatakan kuat.”
Tak ada senyum apalagi luapan kegembiraan demi mendengar penjelasan sang dokter. Namun suamiku berusaha menguatkanku. Segala aktivitasku dihentikan. Tak ada lagi bimbingan skripsi ke kampus, pun memberi bimbingan translasi literature S2 pada salah seorang dokter gigi, atau memberi les privat anak salah seorang dosen MIPA di kampus yang mengenalku saat KKN. Demi kesehatan sang jabang bayi, 24 jam aku harus berada di tempat tidur. Namun pikiran ini tak bisa tenang, kalau-kalau suara amarah atau umpatan dari bilik sebelah terdengar sewaktu-waktu. Aku juga memikirkan skripsiku yang sudah revisi tahap akhir. Akhirnya setelah kubujuk suamiku, aku diperkenankan merevisi dengan bantuan suamiku yang mengetik. Beliau pun bersedia ke kampus menyerahkan berkas ujian skripsiku, dibantu seorang teman kelasku. Sudah ditentukan bahwa ujian skripsiku adalah pekan depan. Walaupun suamiku keberatan, aku bersikeras untuk mengikuti ujian. Kupastikan nanti bisa menyewa kursi roda atau apapun caranya agar aku bisa duduk di depan tiga dosen penguji.
Nyatanya, Allah berkehendak lain. Sekeras apapun usahaku untuk bertahan dan sebanyak apapun do’a dipanjatkan, takdir Allah tak bisa kita dahului. Hanya satu pekan aku sanggup menjalankan bedrest, aku dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. Dan hari itu, hari dimana harusnya aku duduk di depan tiga dosen penguji skripsi, aku justru berada di bilik operasi untuk operasi curet. Qodarullahu wamasyafa’ala….

Sabtu, 27 April 2013

Catatan Kecil Seorang Istri



          

       “Siapa yang mengatakan bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya itu halal? Apa dalilnya? Biar aku bukakan kitabnya di depan orangnya!”
Tanpa disadari, air mataku pun menetes demi mendengar perkataan suamiku. Aduhai,,, aku tahu benar bukan maksud beliau untuk menyombongkan diri. Beliau hanya gemas dengan orang-orang di desaku, yang menganggap diriku masuk aliran sesat karena tidak mau berjabat tangan dengan laki-laki bukan mahram. Apalagi yang mengatakannya adalah orang yang dianggap “alim” di desa.
Tapi aku menangis bukan karena dibela, bukan karena sakit hati dengan sikap masyarakat di desa. Aku teringat beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum aku mengenal laki-laki yang kini jadi suamiku. Aku teringat pada malam-malamku saat bersimpuh di hadapan-Nya. Saat aku menyampaikan permintaan kecil pada-Nya. “Ya Allah, aku memang bukan wanita yang memiliki kesucian seperti para wanita mulia yang hidup pada zamannya.  Aku tidak semulia Khadijah, Fatimah, Asiah atau Maryam.  Aku hanya seorang wanita yang Engkau beri nikmat tiada terkira yaitu hidayah untuk mengerti agamaMu. Maka aku minta berikan padaku seorang pendamping hidup yang akan menjagaku untuk terus istiqomah di jalanMu yang lurus ini.”
            Dan ketika saatnya aku dipertemukan dengannya, laki-laki yang kini menjadi suamiku…. Aku tahu, dia bukan sosok ikhwan seperti yang aku dambakan. Dia bukan ikhwan yang setiap Ahad ikut kajian yang  sama denganku. Dia masih berjabat tangan dengan wanita pada umumnya, dia masih mau memboncengkan teman-teman wanitanya. Yang aku tahu, dia adalah orang baik hati, penyabar dan pekerja keras.
Sampai disitu, aku tetap berkhusnudzan pada-Nya. Karena jika harta yang aku cari, ia sama sekali bukanlah soerang hartawan. Jika ketampanan yang membuatku takluk, ia pun bukan seorang rupawan. Aku tetap yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan do’aku..Allah tidak akan menyia-nyiakan keimananku….
Dan hari ini… aku patut bersyukur pada-Nya, memuji kebesaran-Nya. Allah pun berikan hidayah pada imamku; pada orang yang dari tulang rusuk kirinya diriku diciptakan. Sungguh, nikmat luar biasa memiliki imam yang bisa membimbing meniti jalan yang lurus ini…
Untuk para akhwat/wanita yang belum menemukan jodohnya…,janganlah meminta jodoh dengan kriteria kaya, ganteng atau kriteria duniawi lainnya semata. Banyak rumah tangga yang dikuasai oleh obsesi dunia sehingga kehilangan arah tujuan yang hakiki. Kejarlah akhirat maka dunia akan mengikuti. Kejarlah pasangan hidup dengan kriteria ukhrawi, bukankah kita ingin menjadi istri bagi suami kita bukan hanya di dunia? Kita tentunya ingin menjadi bidadarinya di surga kelak. Dan yang telah mengarungi bahtera hidup rumah tangga, hendaklah senantiasa meng-update visi dan misi rumah tangga agar selalu dalam rangka mencari ridha-Nya. Mengoreksi niat pernikahan dan membekali dengan ilmu agama. Barokalllahufiikum.
Mei 29, 2011.



Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (1)



   “Bapak tidak akan pernah setuju jika kamu menikah dengan laki-laki yang satu aliran”. Sesaat kalimat itu membuat nafas serasa tertahan. Terbayang berbagai ketakutan akan nasib diri ini jika harus bersuamikan laki-laki pilihan orangtua. Mungkinkah jilbab besar ini akan bertahan melekat di tubuh ini? Mampukah bertahan hidup di lingkungan yang sarat dengan syubhat dan menganggap diri ini sesat? Haruskah mengikuti mereka mempraktikan berbagai macam ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah? Dan serentetan ketakukan-ketakutan lain. Ya Rabbi, jangan biarkan aqidah lurus ini lepas dari genggaman. Namun kemudian terngiang nasihat dari seorang ummahat, “ Ujian adalah sunatullah bagi siapa yang memegang kebenaran. Ujian kita belum seberapa dek, dibanding para shahabat dan orang-orang terdahulu. Ingatlah apa yang dikatakan Rasulullah, memegang sunnah bagaikan memegang bara api. Semakin kita genggam maka akan makin terasa panas. Jika ujian kita datang dari orangtua, maka tetaplah berbuat baik. Jangan sekali-kali membuat mereka sakit hati. Berakhlaklah sebaik mungkin. Penuhi hak-hak mereka, sambil terus berdo’a. karena Allah yang membolak-balikkan hati. Tidak perlu mengharap mereka meyakini apa yang kita yakini, mereka mau menerima kita, itu sudah cukup.”
Maka, dengan hanya berharap pertolongan Allah kutegarkan diri ini menghadapi situasi-situasi sulit. Kusibukkan waktu liburku dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Sehingga nyaris aku tidak pernah keluar rumah. Berangkat ke kota lumpia adalah saat-saat yang kunantikan. Karena di sana aku merasa nyaman dengan segala yang kulakukan. Meski air mata ini pasti bercucuran melihat adik kecilku menangis saat kutinggal pergi. Saat pertama aku pergi ke Semarang untuk kuliah, usianya baru satu setengah tahun. Ia sampai sakit selama sebulan. Selalu mengigau memanggil namaku, tiap melihat orang berjilbab dikiranya itu diriku.
Hari berganti, tahun berlalu. Cita-citaku untuk bisa menikah di semester empat sepertinya belum Allah izinkan. Dengan segenap prasangka baik, aku terus berdo’a, mungkin Allah belum memperkenankan aku bertemu dengan calon suamiku saat ini. Allah akan mempertemukan kami saat masing-masing kami telah ‘siap dan layak’ di mata Allah. Karena di mata manusia, keinginanku untuk menikah dini seringnya malah diremehkan. “Kuliah aja belum kelar, emangnya enggak ingin kerja dulu untuk membalas ortu?”, rata-rata komentar mereka. “Emang udah ada calonnya?” Tanya seorang temanku. “Belum”, jawabku singkat. Ingin menikah bukan berarti sudah punya calon apalagi pacar. Banyak yang pacaran tapi tidak punya komitmen untuk menikah sama sekali. Aku hanya ingin tulus dalam bercita-cita. Menikah adalah sunnah. Menikah berarti meraup pahala dan segala kebaikan yang Allah janjikan. Menikah adalah jalan selamat bagi gejolak jiwa muda. Dan… menikah adalah jalan keluar untuk diriku tetap kokoh beragama.
Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Wanita musyrik untuk laki-laki yang musyrik. Wanita pezina untuk laki-laki pezina. Itulah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an. Maka, aku yakin Allah akan memberikan jodoh laki-laki sholeh pula jika seorang wanita berusaha menjadi shalihah. Aku pun tidak tersibukkan dengan memikirkan ‘siapa dia’ yang akan jadi calon suamiku. Tapi aku berusaha menyibukkan diri untuk menjadi muslimah sebaik-baiknya. Biarlah dianggap kuper karena tidak pernah pergi jalan-jalan malam Mingguan. Tak apalah dianggap mahasiswa 3K (Kos, Kampus, Kantin), sengaja aku tidak mengaktifkan diri di organisasi kampus manapun. Karena aku tidak ingin laki-laki yang Allah persiapkan untukku adalah pemuda yang suka menghabiskan malam Minggunya untuk begadang atau sekadar nongkrong-nongkrong. Atau mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kampus, sibuk menjadi aktivis hingga lalai sholat berjama’ah. Sudah risih rasanya bila berada di tempat yang laki-laki dan perempuannya berbaur jadi satu. Yah.. memang tidak bisa 100% menghindari ikhtilath (berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat).  Saat terjebak di keramaian atau saat sendiri mengayuh sepeda melewati jalan-jalan yang mulai sepi di malam hari, kadang terbersit di benak “Ya Allah, di mana gerangan ia? Yang tidak akan membiarkanku berada dalam keadaan seperti ini. Karena suami sholeh akan menjaga istrinya sebaik-baiknya.”
Meskipun ultimatum keras telah dilontarkan, bahwa tidak akan diijinkan membawa sepeda motor jika ternyata digunakan untuk pergi ta’lim, aku berusaha menghadiri majelis-majelis ilmu yang menyirami dahagaku akan ilmu yang haq. Wahai Ayah Ibu, bukan karena aku tidak taat pada kalian. Tapi ketaatanku pada Allah dan Rasul-Nya harus aku dahulukan. Ilmu tentang aqidah, bertauhid yang benar, ilmu fiqih yang shohih, ilmu tafsir dan hadits serta adab dan akhlak. Bukankah ilmu-ilmu itu wajib dipelajari oleh seorang muslim? Masalah pakaianku, insya Allah suatu hari nanti engkau akan tahu bahwa jubah kedodoran dan jilbab besar berwarna gelap ini adalah pakaian terbaik untuk putrimu.
Tapi aku maklum dengan kekhawatiran mereka. Saat itu di tengah masyarakat sedang hangat-hangatnya isu teroris. Apalagi di kota tempatku kuliah katanya menjadi tempat persembunyian gembong teroris paling dicari. Jika saja orangtuaku mau mendengarkan penjelasanku bahwa salah satu prinsipku adalah taat pada pemerintah. Aku tidak suka ikut demo atau mengkritik pemerintah secara terbuka. Apalagi melakukan aksi terror. Karena akidah Ahlussunnah  yang kupelajari salah satunya adalah berpegang teguh pada waliyul ‘amr (pemerintah yang berkuasa). Aku pun diam saja saat berangkat dengan hanya dibekali uang seadanya. Dengan uang seadanya, gerakku akan terbatas. Mungkin itu pikir mereka. Aku juga tidak akan bisa membeli baju-baju dan kerudung besar. “Kalau kurang, sms mama ya..” bisik ibuku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun tahu, jika perasaan ibu lebih lembut. “Jangan khawatir, aku bisa pinjam teman. Meraka semua baik kok”, hiburku.
…..
“Seandainya kamu tidak terlalu agamis, pasti kamu akan mendapatkan segalanya”. Itulah SMS balasan yang kuterima saat kuberitahu bahwa IP-ku semester ini 3,84. Respon yang sangat jauh dari harapan. Padahal yang ingin kutunjukkan adalah sebaliknya. Bahwa dengan penampilanku yang seperti ini - dianggap ‘nyeleneh’ di kampus- aku tetap bisa mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Meskipun selama ini memang bukan IP yang kucari, setidaknya dosen-dosenku tidak terlalu mempermasalahkan penampilanku –tentunya karena ijin Allah semata. Ya, Allah ‘azza wajjala benar-benar memberikan kemudahan. Aku tidak mengalami seperti cerita-cerita yang kudengar dari beberapa teman akhwat bahwa mereka kadang dipersulit oleh dosen yang kurang suka dengan penampilan ‘brukut’, yang kata orang hanya pantas dipakai di ‘zaman onta’ saja.
Sedikit demi sedikit Allah Ta’ala juga membukakan pintu rizki untukku. Meski aku bisa saja memaksa meminta uang saku lebih tapi tidak akan kulakukan. Salah satu cara mengambil simpati orangtuaku juga dengan cara tidak banyak meminta atau bahkan ketergantungan pada mereka. Dari mulut ke mulut, banyak saudara ibu kosku yang minta les privat untuk anak-anak mereka. Aku tidak perlu lagi kerja di rental komputer atau menitipkan makanan ringan di kos teman-temanku. Pengajuan beasiswa di kampus juga Alhamdulillah cair. Tidak hanya itu kemudahan yang Allah berikan. Di pertengahan semester lima, orangtuaku datang mengantarkan sepeda motor. Mereka mulai lunak setelah tahu aku jadi guru les. Kesibukanku yang bertambah memang membuat kaki ini kadang pegal harus mengayuh sepeda kesana kemari. Tapi bukan itu yang membuatku senang, sekarang aku bisa pergi ta’lim dengan mudah. Tanpa harus naik angkot berkali-kali ke Tembalang. Aku juga bisa datang ke tempat ummahat yang bisa mengajariku bahasa Arab.
Salah satu ilmu yang aku kejar tentu saja adalah ilmu untuk bekal kehidupan berumah tangga. Karena Islam agama sempurna takkan melewatkan tuntunan yang satu ini. Jika kebanyakan orang menyiapkan pernikahan dengan menghitung bekal materi, maka seorang muslim hendaknya lebih memikirkan bekal yang tak kalah penting yaitu ilmu dien. Alhamdulillah dari SMA, aku sudah mengutarakan pada orang tuaku. Jika kelak aku menikah maka tidak akan ada make-up menor dan tebal di wajahku, juga busana ribet yang membalut dengan serangkaian tata cara adatnya.
Di kampus, orang-orang ramai membahas pendaftaran KKN. Waktu semester 4 aku hampir saja mendaftar KKN. Meskipun memenuhi syarat, tapi tidak bisa kubayangkan harus ber-KKN bersama angkatan senior. Sehingga keinginan lulus 3,5 tahun pun kuurungkan. KKN dengan teman-teman seangkatan mungkin akan lebih enjoy karena mereka sudah memahamiku dalam keseharian.
Pagi masih diselimuti kabut saat aku bersiap diri. Ya, hari ini pembekalan KKN dari kampus. Pagi itu yang kutahu aku harus menyiapkan energi lebih karena acaranya mungkin sampai sore bahkan malam. Namun hari itu, ternyata Allah juga menyiapkan sebuah ‘skenario’ yang tidak pernah terbayang oleh akalku sebelumnya. Skenario  yang turut menentukan jalan hidupku ke depan. 
Hari itu… penghujung semester enam. Hati ini mulai diselimuti kegalauan….