Ruang aula sudah hampir
terisi penuh saat aku masuk dengan mengenakan seragam hitam putih dan jilbab
hitam tentunya. Berpasang mata memandang ke arahku. Yang belum mengenalku
mungkin masih terasa aneh dengan jilbab hitam besarku. Karena ketentuannya
adalah memakai jilbab putih. Padahal yang sudah mengenalku mungkin
bertanya-tanya, kenapa hari ini aku ‘berani’ mengenakan setelan rok dan baju?
Bukan gamis seperti biasa? Tapi tidak ada yang berani bertanya, sehingga tak ada
yang tahu aku saat itu belum punya baju overral (gamis tanpa lengan) yang bisa
kukenakan dengan baju putih. Hari itu pembekalan pertama, pesertanya seluruh
mahasiswa dari semua fakultas. Sangat banyak wajah yang tidak aku kenal.
Setelah satu persatu
pemateri menyampaikan penjelasan, dibukalah sesi tanya jawab. Pertanyaan
pertama dari ketua BEM, tentang raport merah KKN. Apalagi ini adalah KKN
subsidi dari pemerintah dengan program Pemberantasan Buta Aksara. Sangat lumrah
tentunya jika seorang ketua BEM mengajukan pertanyaan kritis. Kedua, disusul
oleh teman si ketua BEM. Masih senada dengan pertanyaan pertama. Entah apa yang
ada di benakku, tiba-tiba kuacungkan tangan. Mengajukan diri menjadi penanya
ketiga. Apakah aku lupa sekarang berada dimana? Banyak mahasiswa laki-laki yang
akan melihat, apakah tidak takut menjadi fitnah karena tertarik dengan wajah
manismu? Atau mungkin ada mahasiswa perempuan yang baru melihatmu lalu
berteriak girang pada temannya “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu
kan?!!” Entahlah, yang kutahu aku punya pertanyaan yang simple tapi harus kutanyakan.
Pertanyaan yang realistis, mengenai sesuatu yang sangat mungkin terjadi nanti
di lapangan. Soal kritik mengkritik, itu bukan urusanku. Aku seperti belum
tersadar, sampai aku dikejutkan dengan riuh tepuk tangan begitu pertanyaanku
selesai dilontarkan. Duh Gusti,, aku sangat malu pada-Mu. Kenapa tidak
kutanyakan nanti saja saat acara selesai. Atau harusnya tadi minta tolong
temanku yang menanyakan. Tapi, toh aku
ini siapa? Apa peduli mereka denganku. Aku hanya mahasiswa biasa yang tidak
populer. Paling keluar dari ruangan ini mereka tidak akan ingat lagi siapa aku.
Pikirku menenangkan diri.
Pembekalan berikutnya
sudah dipisahkan menurut lokasi kabupaten. Alhamdulillah aku dapat lokasi di
Kendal. Tepatnya Desa Kangkung, Kecamatan Kangkung. Dilihat topografisnya,
Kendal memiliki area yang mudah dijangkau dibanding daerah di Kabupaten
Semarang seperti Tengaran dan sekitarnya. Hari ini penentuan siapa yang akan
menjadi Koordinator Kecamatan (Korcam). Untuk kecamatan Kaliwungu terpilih
mahasiswa laki-laki dari jurusanku. Untuk Kecamatan Kangkung dibuka lowongan 3
calon Korcam dari 3 fakultas. Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) diwakili oleh si Ketua BEM yang langsung maju mencalonkan
diri. Fakultas MIPA, para mahasiswanya yang sebagian besar cewe-cewe serempak memilih ‘sang idola’ untuk maju. Si ‘cowo’
Fisika yang menurut penggemarnya berwajah kinclong pun maju dengan senyum tebar
pesonanya. Tinggal Fakultas Bahasa dan
Sastra yang belum mengajukan calon. Tak
ada yang bergeming, kami cuma saling tengok. Mencari dari arah mana sang calon
akan maju.
Akhirnya para dosen
langsung menunjuk salah satu nama dengan rekomendasi para mahasiswa yang duduk
di barisan depan. “Silahkan para calon
Korcam Kangkung untuk maju ke depan.” Dua orang yang sama-sama populer sudah maju di
depan. Semua masih penasaran menunggu
calon dari FPBS. Belum ada yang beranjak dari tempat duduk sampai
disebut sebuah nama. Aku terhenyak. Semoga Pak Dosen salah menyebut nama. Itu tidak mungkin aku. Aku tidak pernah
menginginkan jadi Korcam meskipun dalam
mimpi. Aku mahasiswi biasa dengan jilbab
besar dan baju kedodoran. Aku tidak pernah datang ke kampus kecuali ada jam
kuliah. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di basecamp UKM sekalipun. Aku tidak pernah ikut kegiatan kampus
semacam seminar atau pelatihan kepemimpinan apalagi aksi sosial atau
demonstrasi di jalan. Kalau kemarin aku bertanya di depan, itu hanya kebetulan.
Itu bukan ukuran seseorang memiliki kapasitas atau tidak untuk menjadi Korcam.
Kakiku lemas, aku tidak
berkata sepatah kata pun. Suara-suara dari sebelahku yang mempersilahkan aku
untuk lewat tidak kuhiraukan. Ah, aku kan baru jadi calon. Rivalku adalah
seorang Presiden BEM. Orang nomor 1 di kampus. Satunya, cowo populer yang tidak cuma bermodal tampang. Tapi juga aktivis di
BEM dan berprestasi di jurusannya. Sedangkan aku? Pasti hanya beberapa gelintir
orang yang akan memilihku. Jadi kukuatkan diri untuk maju ke depan dan duduk di
kursi dengan tatapan kosong. Dosen
pembimbing pun memimpin aklamasi. Pertama untuk sang ketua BEM. Satu, dua,
tiga… Ayolah, pasti tak perlu pikir panjang untuk mengangkat tangan tanda
dukungan pada sang ketua BEM! Tapi hanya sampai hitungan ke 3, tidak ada tangan
yang terangkat. Ini pasti kesalahan. Seorang presiden BEM hanya mendapat 3
suara. Ah, mungkin nanti semua memilih si cowo
Fisika karena tampangnya lebih menawan hati para mahasisiwi. Dan terbukti
dengan 40 tangan yang mengacung untuk si cowo Fisika. Tinggal aku sekarang.
Semoga banyak yang abstain. Kalau tidak memilih kedua calon sebelumnya, apa
untungnya memilihku. AKu tidak berani ikut menghitung tangan yang terangkat.
Dan ternyata hitungan dosen berhenti pada angka…. 41! Glek!
Sungguh, aku berharap ini
mimpi! Aku tidak bisa berpikir untuk bebearapa saat lamanya. Yang kubayangkan
pertama kali adalah, bagaimana jika teman-teman dekatku baik di ta’lim atau
kost tahu? Orang sepertiku yang sudah ngaji dan terkenal anti dengan hal-hal
berbau politik dan kekuasaan, yang tidak pernah menyentuh kegiatan apapun demi
menghindari berbagai mudharat tiba-tiba menjadi Korcam KKN. Satu-satunya Korcam
perempuan! Tidak mungkin aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak tahu hukum
kepemimpinan wanita.
Walaupun hanya untuk 45 hari memimpin, tapi
menjadi Korcam bukan tugas ringan. Memimpin 136 mahasiswa yang tersebar di 15 desa. Itu berarti aku
harus mengkoordinir para Kordes (Koordinator Desa) yang jumlahnya ada 15 dan
sebagian besar adalah laki-laki. Padahal kecamatan lain maksimal hanya 3 desa.
Program yang dilaksanakan juga bukan hal mudah. Mengajari warga yang belum bisa
baca tulis. Satu mahasiswa waiib mencari 10 warga belajar untuk dibimbing dalam
waktu 45 hari. Bisa dipastikan masyarakat yang belum bisa baca tulis itu ada
pada kisaran usia 40 tahun ke atas. Bahkan mungkin sebagian besar adalah
lansia. Mengajak mereka untuk mau belajar di usia yang sudah tidak lagi
produktif itu pasti butuh perjuangan. Tanpa kerja keras mustahil target 1.360
warga belajar bisa tercapai dalam waktu 45 hari. Belum lagi harus berinteraksi
dengan pihak Kecamatan, para Lurah beserta pamongnya. Semakin berat karena sang Presiden BEM pasti
akan sangat mengawasi kinerjaku setelah aku ‘dianggap’ menelanjanginya di
pemilihan Korcam.
Amanah sudah terlanjur
dibebankan di pundakku. Permohonanku untuk mengundurkan diri ditolak
mentah-mentah. “Aku percaya, kamu pasti bisa!” Alih-alih bisa memahami yang
kurasakan, mereka justru semangat memberikan dukungan. Termasuk si ‘cowo’
Fisika populer yang otomatis menjadi Wakil Korcam. “Saya siap membantu mba.
Jangan khawatir, bisa saja ini hanya formalitas. Hitam di atas putih mba-lah
ketuanya. Tapi nanti di lapangan, saya dan teman-teman akan membantu semua
tugas mba. Bla..bla..bla..” Duhai Rabbi, tidak ada yang memahami apa yang
membuatku tertekan. “Selamat ya, terima kasih. Kami sangat senang melihat
Presiden BEM dikalahkan oleh anda.” Bah! Ada pula yang memberi komentar dengan
nada konspirasi. Aku benar-benar terperangkap. Akhirnya dengan hanya modal
pengalaman jadi ketua OSIS saat SMP dan sekretaris OSIS saat SMA, aku bertekad
menjalankan amanah sebaik-baiknya. Meskipun sulit, aku berusaha mencari hikmah
atas semua ini. Yang jelas ini pelajaran berharga agar aku tidak tergiur untuk
bertanya di depan umum. Yah, siapa tahu nanti bisa merubah image jelek
masyarakat terhadap orang berkerudung besar. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni
dosaku, Qodarullahu wa maa syafa’ala.
Kalau Engkau tidak menghendaki tidak mungkin ini semua kulalui. Aku hanya mohon
agar diberi kesempatan untuk menebus kesalahanku ini. Bimbinglah hamba dengan
taufik dan hidayah-Mu. Aamiin.
Hari-hari yang terasa panjang
pun dimulai. Bersama 10 teman mahasiswi lain aku tinggal di rumah warga yang
seorang janda. Alhamdulillah, ini termasuk kemudahan dari Allah Tabaarokawata’ala. Aku tidak perlu ribet
dengan jilbab dan kaos kaki setiap waktu
karena tidak ada laki-laki di posko. Satu-satunya laki-laki yang juga Kordesku
ditempatkan di rumah seberang. Semua teman satu posko adalah orang yang baru
kukenal. Agak kecewa sebenarnya karena aku tidak jadi satu posko dengan Nurul.
Dia termasuk teman dekat di kelas, dan sudah sangat mengerti bagaimana diriku.
Bahkan beberapa kali dia menolongku meminjami uang.
Aku menjalani tugas
ganda. Sebagai anggota tim yang harus mencari 20 warga belajar untuk dibina dan
mengoordinir semua mahasiswa. Ponselku hampir tak pernah berhenti menerima SMS
dan telepon. Beberapa kali nge-hang
karena overload SMS. Sepekan sekali aku
harus melakukan supervisi ke 15 desa. Karena tidak mungkin dilakukan dalam sehari,
kubagi menjadi 2 hari. Tak jarang dalam sehari aku bolak-balik Kendal-Semarang
untuk berkoordinasi dengan pihak kampus dan Dosen Pembimbing. Hampir tak ada
waktu untuk merehatkan diri. Tiap hari selalu ada yang datang ke posko
mencariku, konsultasi atau membahas permasalahan di lapangan. Aku sudah tidak
mengenali wajahku di cermin. Mukaku kusam karena paparan matahari dan debu
jalanan. Mataku cekung karena kurang tidur. Jika sudah terasa nge-drop, aku mengungsi ke
posko desa Nurul. Berbeda dengan poskoku, disitu begitu tenang dan adem. Aku
bisa tidur siang walau sebentar. Nurul sangat baik, dia melayaniku seperi
melayani ratu. Memang begitulah orangnya, polos dan tulus. Dia juga rupanya
jadi kesayangan Ibu Carik karena rajin membantu di dapur. Tak hanya itu,
kordesnya sendiri pun ia bantu cucikan bajunya. Sang kordes yang mahasiswa
laki-laki berpostur pendek dan usianya sepertinya di atasku itu pasti sangat
senang memiliki anak buah seperti Nurul. Ternyata di posko Nurul juga aku bisa
menyelesaikan tugas administratif karena di rumah anak Ibu Carik tempat sang
kordes tinggal ada unit komputer yang bisa kugunakan. Lama-lama teman kordes
lain tahu persembunyainku, kalau aku tak ada di posko Korcam mereka tahu dimana
bisa bertemu denganku. Selain Nurul, ada juga dua orang yangs erring kusambangi
poskonya. Mereka berdua aktif di Rokhis kampus. Meski jilbabnya tak sebesar
diriku, paling tidak mereka sama-sama tidak mau boncengan dan salaman dengan
laki-laki. Kemana-mana aku sering mengajak mereka.
Selain jadi ‘orang sibuk’
dadakan, ternyata jadi ‘selebritis’ dadakan juga. Banyak yang ingin tahu
tentangku lebih jauh. Darimana asalku, dimana kostku, sudah punya calon atau
belum? Glek! Suatu hari Ibu Kostku dari Semarang datang menjenguk saat ada
rapat kecil di posko. Entah darimana asap itu berasal, besoknya beredar kabar
bahwa aku sudah dijodohkan oleh Ibu Kost. Memang tidak sepenuhnya keliru, tapi
ada hal yang tidak bisa aku ceritakan disini. “Wah, berarti Bu Korcam sudah
tidak membuka lowongan ya. Karena posisinya sudah terisi.” Seorang teman
mahasisiwi mencandaiku di depan forum rapat kordes. Aku tidak berkomentar
karena tidak langsung hal itu menguntungkanku.
Tanpa terasa masa berat
itu hampir usai. Awal Ramadhan 2008 kami masih di lokasi. Sekarang aku mulai disibukkan
dengan penyusunan laporan. Semua mahasiswa kupastikan tidak melakukan kesalahan
dalam laporan, meski harus kuundang mereka ke briefing dadakan beberapa kali. Aku tidak mau KKN usai masih harus
bolak-balik ke kampus mengurusi laporan yang salah. Aku ingin fokus dengan
ramadhanku. Kali ini aku tidak harus mondar-mandir Kendal-Semarang. Ada yang
mau menggantikan tugasku, kordesnya si Nurul. Meskipun awalnya kupandang
sebelah mata, ia lumayan bisa diandalkan. Rekapitulasi data juga ia yang
membantu.
Hari ke-lima Ramadhan,
mentari cerah menguapkan embun di pucuk-pucuk tembakau yang menghampar di
sekeliling bangunan Kecamatan Kangkung.
Semua sumringah, karena hari ini petualangan kami disini purna sudah. Selesai
acara pelepasan, dengan suka cita aku aku tancap gas ke Semarang. Ingin segera
kulepas penat ini di kamar kostku yang jauh dari keramaian. Ingin lekas ku up-grade isi hati dan otak ini dengan
ilmu. Satu setengah bulan tanpa siraman kajian sungguh membuat jiwa ini terasa
kering. Ingin kembali kutata hati. “Ya Allah, kembalikan izzahku sebagai wanita
sholehah…” Ucapku lirih dengan air mata berderai-derai di tengah keramaian
jalan raya Kendal-Semarang.
Tapi ada kegalauan yang
belum bisa kusingkirkan, “Di mana ia gerangan?”