Sabtu, 27 April 2013

Catatan Kecil Seorang Istri



          

       “Siapa yang mengatakan bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya itu halal? Apa dalilnya? Biar aku bukakan kitabnya di depan orangnya!”
Tanpa disadari, air mataku pun menetes demi mendengar perkataan suamiku. Aduhai,,, aku tahu benar bukan maksud beliau untuk menyombongkan diri. Beliau hanya gemas dengan orang-orang di desaku, yang menganggap diriku masuk aliran sesat karena tidak mau berjabat tangan dengan laki-laki bukan mahram. Apalagi yang mengatakannya adalah orang yang dianggap “alim” di desa.
Tapi aku menangis bukan karena dibela, bukan karena sakit hati dengan sikap masyarakat di desa. Aku teringat beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum aku mengenal laki-laki yang kini jadi suamiku. Aku teringat pada malam-malamku saat bersimpuh di hadapan-Nya. Saat aku menyampaikan permintaan kecil pada-Nya. “Ya Allah, aku memang bukan wanita yang memiliki kesucian seperti para wanita mulia yang hidup pada zamannya.  Aku tidak semulia Khadijah, Fatimah, Asiah atau Maryam.  Aku hanya seorang wanita yang Engkau beri nikmat tiada terkira yaitu hidayah untuk mengerti agamaMu. Maka aku minta berikan padaku seorang pendamping hidup yang akan menjagaku untuk terus istiqomah di jalanMu yang lurus ini.”
            Dan ketika saatnya aku dipertemukan dengannya, laki-laki yang kini menjadi suamiku…. Aku tahu, dia bukan sosok ikhwan seperti yang aku dambakan. Dia bukan ikhwan yang setiap Ahad ikut kajian yang  sama denganku. Dia masih berjabat tangan dengan wanita pada umumnya, dia masih mau memboncengkan teman-teman wanitanya. Yang aku tahu, dia adalah orang baik hati, penyabar dan pekerja keras.
Sampai disitu, aku tetap berkhusnudzan pada-Nya. Karena jika harta yang aku cari, ia sama sekali bukanlah soerang hartawan. Jika ketampanan yang membuatku takluk, ia pun bukan seorang rupawan. Aku tetap yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan do’aku..Allah tidak akan menyia-nyiakan keimananku….
Dan hari ini… aku patut bersyukur pada-Nya, memuji kebesaran-Nya. Allah pun berikan hidayah pada imamku; pada orang yang dari tulang rusuk kirinya diriku diciptakan. Sungguh, nikmat luar biasa memiliki imam yang bisa membimbing meniti jalan yang lurus ini…
Untuk para akhwat/wanita yang belum menemukan jodohnya…,janganlah meminta jodoh dengan kriteria kaya, ganteng atau kriteria duniawi lainnya semata. Banyak rumah tangga yang dikuasai oleh obsesi dunia sehingga kehilangan arah tujuan yang hakiki. Kejarlah akhirat maka dunia akan mengikuti. Kejarlah pasangan hidup dengan kriteria ukhrawi, bukankah kita ingin menjadi istri bagi suami kita bukan hanya di dunia? Kita tentunya ingin menjadi bidadarinya di surga kelak. Dan yang telah mengarungi bahtera hidup rumah tangga, hendaklah senantiasa meng-update visi dan misi rumah tangga agar selalu dalam rangka mencari ridha-Nya. Mengoreksi niat pernikahan dan membekali dengan ilmu agama. Barokalllahufiikum.
Mei 29, 2011.



Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (1)



   “Bapak tidak akan pernah setuju jika kamu menikah dengan laki-laki yang satu aliran”. Sesaat kalimat itu membuat nafas serasa tertahan. Terbayang berbagai ketakutan akan nasib diri ini jika harus bersuamikan laki-laki pilihan orangtua. Mungkinkah jilbab besar ini akan bertahan melekat di tubuh ini? Mampukah bertahan hidup di lingkungan yang sarat dengan syubhat dan menganggap diri ini sesat? Haruskah mengikuti mereka mempraktikan berbagai macam ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah? Dan serentetan ketakukan-ketakutan lain. Ya Rabbi, jangan biarkan aqidah lurus ini lepas dari genggaman. Namun kemudian terngiang nasihat dari seorang ummahat, “ Ujian adalah sunatullah bagi siapa yang memegang kebenaran. Ujian kita belum seberapa dek, dibanding para shahabat dan orang-orang terdahulu. Ingatlah apa yang dikatakan Rasulullah, memegang sunnah bagaikan memegang bara api. Semakin kita genggam maka akan makin terasa panas. Jika ujian kita datang dari orangtua, maka tetaplah berbuat baik. Jangan sekali-kali membuat mereka sakit hati. Berakhlaklah sebaik mungkin. Penuhi hak-hak mereka, sambil terus berdo’a. karena Allah yang membolak-balikkan hati. Tidak perlu mengharap mereka meyakini apa yang kita yakini, mereka mau menerima kita, itu sudah cukup.”
Maka, dengan hanya berharap pertolongan Allah kutegarkan diri ini menghadapi situasi-situasi sulit. Kusibukkan waktu liburku dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Sehingga nyaris aku tidak pernah keluar rumah. Berangkat ke kota lumpia adalah saat-saat yang kunantikan. Karena di sana aku merasa nyaman dengan segala yang kulakukan. Meski air mata ini pasti bercucuran melihat adik kecilku menangis saat kutinggal pergi. Saat pertama aku pergi ke Semarang untuk kuliah, usianya baru satu setengah tahun. Ia sampai sakit selama sebulan. Selalu mengigau memanggil namaku, tiap melihat orang berjilbab dikiranya itu diriku.
Hari berganti, tahun berlalu. Cita-citaku untuk bisa menikah di semester empat sepertinya belum Allah izinkan. Dengan segenap prasangka baik, aku terus berdo’a, mungkin Allah belum memperkenankan aku bertemu dengan calon suamiku saat ini. Allah akan mempertemukan kami saat masing-masing kami telah ‘siap dan layak’ di mata Allah. Karena di mata manusia, keinginanku untuk menikah dini seringnya malah diremehkan. “Kuliah aja belum kelar, emangnya enggak ingin kerja dulu untuk membalas ortu?”, rata-rata komentar mereka. “Emang udah ada calonnya?” Tanya seorang temanku. “Belum”, jawabku singkat. Ingin menikah bukan berarti sudah punya calon apalagi pacar. Banyak yang pacaran tapi tidak punya komitmen untuk menikah sama sekali. Aku hanya ingin tulus dalam bercita-cita. Menikah adalah sunnah. Menikah berarti meraup pahala dan segala kebaikan yang Allah janjikan. Menikah adalah jalan selamat bagi gejolak jiwa muda. Dan… menikah adalah jalan keluar untuk diriku tetap kokoh beragama.
Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Wanita musyrik untuk laki-laki yang musyrik. Wanita pezina untuk laki-laki pezina. Itulah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an. Maka, aku yakin Allah akan memberikan jodoh laki-laki sholeh pula jika seorang wanita berusaha menjadi shalihah. Aku pun tidak tersibukkan dengan memikirkan ‘siapa dia’ yang akan jadi calon suamiku. Tapi aku berusaha menyibukkan diri untuk menjadi muslimah sebaik-baiknya. Biarlah dianggap kuper karena tidak pernah pergi jalan-jalan malam Mingguan. Tak apalah dianggap mahasiswa 3K (Kos, Kampus, Kantin), sengaja aku tidak mengaktifkan diri di organisasi kampus manapun. Karena aku tidak ingin laki-laki yang Allah persiapkan untukku adalah pemuda yang suka menghabiskan malam Minggunya untuk begadang atau sekadar nongkrong-nongkrong. Atau mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kampus, sibuk menjadi aktivis hingga lalai sholat berjama’ah. Sudah risih rasanya bila berada di tempat yang laki-laki dan perempuannya berbaur jadi satu. Yah.. memang tidak bisa 100% menghindari ikhtilath (berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat).  Saat terjebak di keramaian atau saat sendiri mengayuh sepeda melewati jalan-jalan yang mulai sepi di malam hari, kadang terbersit di benak “Ya Allah, di mana gerangan ia? Yang tidak akan membiarkanku berada dalam keadaan seperti ini. Karena suami sholeh akan menjaga istrinya sebaik-baiknya.”
Meskipun ultimatum keras telah dilontarkan, bahwa tidak akan diijinkan membawa sepeda motor jika ternyata digunakan untuk pergi ta’lim, aku berusaha menghadiri majelis-majelis ilmu yang menyirami dahagaku akan ilmu yang haq. Wahai Ayah Ibu, bukan karena aku tidak taat pada kalian. Tapi ketaatanku pada Allah dan Rasul-Nya harus aku dahulukan. Ilmu tentang aqidah, bertauhid yang benar, ilmu fiqih yang shohih, ilmu tafsir dan hadits serta adab dan akhlak. Bukankah ilmu-ilmu itu wajib dipelajari oleh seorang muslim? Masalah pakaianku, insya Allah suatu hari nanti engkau akan tahu bahwa jubah kedodoran dan jilbab besar berwarna gelap ini adalah pakaian terbaik untuk putrimu.
Tapi aku maklum dengan kekhawatiran mereka. Saat itu di tengah masyarakat sedang hangat-hangatnya isu teroris. Apalagi di kota tempatku kuliah katanya menjadi tempat persembunyian gembong teroris paling dicari. Jika saja orangtuaku mau mendengarkan penjelasanku bahwa salah satu prinsipku adalah taat pada pemerintah. Aku tidak suka ikut demo atau mengkritik pemerintah secara terbuka. Apalagi melakukan aksi terror. Karena akidah Ahlussunnah  yang kupelajari salah satunya adalah berpegang teguh pada waliyul ‘amr (pemerintah yang berkuasa). Aku pun diam saja saat berangkat dengan hanya dibekali uang seadanya. Dengan uang seadanya, gerakku akan terbatas. Mungkin itu pikir mereka. Aku juga tidak akan bisa membeli baju-baju dan kerudung besar. “Kalau kurang, sms mama ya..” bisik ibuku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun tahu, jika perasaan ibu lebih lembut. “Jangan khawatir, aku bisa pinjam teman. Meraka semua baik kok”, hiburku.
…..
“Seandainya kamu tidak terlalu agamis, pasti kamu akan mendapatkan segalanya”. Itulah SMS balasan yang kuterima saat kuberitahu bahwa IP-ku semester ini 3,84. Respon yang sangat jauh dari harapan. Padahal yang ingin kutunjukkan adalah sebaliknya. Bahwa dengan penampilanku yang seperti ini - dianggap ‘nyeleneh’ di kampus- aku tetap bisa mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Meskipun selama ini memang bukan IP yang kucari, setidaknya dosen-dosenku tidak terlalu mempermasalahkan penampilanku –tentunya karena ijin Allah semata. Ya, Allah ‘azza wajjala benar-benar memberikan kemudahan. Aku tidak mengalami seperti cerita-cerita yang kudengar dari beberapa teman akhwat bahwa mereka kadang dipersulit oleh dosen yang kurang suka dengan penampilan ‘brukut’, yang kata orang hanya pantas dipakai di ‘zaman onta’ saja.
Sedikit demi sedikit Allah Ta’ala juga membukakan pintu rizki untukku. Meski aku bisa saja memaksa meminta uang saku lebih tapi tidak akan kulakukan. Salah satu cara mengambil simpati orangtuaku juga dengan cara tidak banyak meminta atau bahkan ketergantungan pada mereka. Dari mulut ke mulut, banyak saudara ibu kosku yang minta les privat untuk anak-anak mereka. Aku tidak perlu lagi kerja di rental komputer atau menitipkan makanan ringan di kos teman-temanku. Pengajuan beasiswa di kampus juga Alhamdulillah cair. Tidak hanya itu kemudahan yang Allah berikan. Di pertengahan semester lima, orangtuaku datang mengantarkan sepeda motor. Mereka mulai lunak setelah tahu aku jadi guru les. Kesibukanku yang bertambah memang membuat kaki ini kadang pegal harus mengayuh sepeda kesana kemari. Tapi bukan itu yang membuatku senang, sekarang aku bisa pergi ta’lim dengan mudah. Tanpa harus naik angkot berkali-kali ke Tembalang. Aku juga bisa datang ke tempat ummahat yang bisa mengajariku bahasa Arab.
Salah satu ilmu yang aku kejar tentu saja adalah ilmu untuk bekal kehidupan berumah tangga. Karena Islam agama sempurna takkan melewatkan tuntunan yang satu ini. Jika kebanyakan orang menyiapkan pernikahan dengan menghitung bekal materi, maka seorang muslim hendaknya lebih memikirkan bekal yang tak kalah penting yaitu ilmu dien. Alhamdulillah dari SMA, aku sudah mengutarakan pada orang tuaku. Jika kelak aku menikah maka tidak akan ada make-up menor dan tebal di wajahku, juga busana ribet yang membalut dengan serangkaian tata cara adatnya.
Di kampus, orang-orang ramai membahas pendaftaran KKN. Waktu semester 4 aku hampir saja mendaftar KKN. Meskipun memenuhi syarat, tapi tidak bisa kubayangkan harus ber-KKN bersama angkatan senior. Sehingga keinginan lulus 3,5 tahun pun kuurungkan. KKN dengan teman-teman seangkatan mungkin akan lebih enjoy karena mereka sudah memahamiku dalam keseharian.
Pagi masih diselimuti kabut saat aku bersiap diri. Ya, hari ini pembekalan KKN dari kampus. Pagi itu yang kutahu aku harus menyiapkan energi lebih karena acaranya mungkin sampai sore bahkan malam. Namun hari itu, ternyata Allah juga menyiapkan sebuah ‘skenario’ yang tidak pernah terbayang oleh akalku sebelumnya. Skenario  yang turut menentukan jalan hidupku ke depan. 
Hari itu… penghujung semester enam. Hati ini mulai diselimuti kegalauan….

Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (2)



Ruang aula sudah hampir terisi penuh saat aku masuk dengan mengenakan seragam hitam putih dan jilbab hitam tentunya. Berpasang mata memandang ke arahku. Yang belum mengenalku mungkin masih terasa aneh dengan jilbab hitam besarku. Karena ketentuannya adalah memakai jilbab putih. Padahal yang sudah mengenalku mungkin bertanya-tanya, kenapa hari ini aku ‘berani’ mengenakan setelan rok dan baju? Bukan gamis seperti biasa? Tapi tidak ada yang berani bertanya, sehingga tak ada yang tahu aku saat itu belum punya baju overral (gamis tanpa lengan) yang bisa kukenakan dengan baju putih. Hari itu pembekalan pertama, pesertanya seluruh mahasiswa dari semua fakultas. Sangat banyak wajah yang tidak aku kenal. 
Setelah satu persatu pemateri menyampaikan penjelasan, dibukalah sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama dari ketua BEM, tentang raport merah KKN. Apalagi ini adalah KKN subsidi dari pemerintah dengan program Pemberantasan Buta Aksara. Sangat lumrah tentunya jika seorang ketua BEM mengajukan pertanyaan kritis. Kedua, disusul oleh teman si ketua BEM. Masih senada dengan pertanyaan pertama. Entah apa yang ada di benakku, tiba-tiba kuacungkan tangan. Mengajukan diri menjadi penanya ketiga. Apakah aku lupa sekarang berada dimana? Banyak mahasiswa laki-laki yang akan melihat, apakah tidak takut menjadi fitnah karena tertarik dengan wajah manismu? Atau mungkin ada mahasiswa perempuan yang baru melihatmu lalu berteriak girang pada temannya “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu kan?!!” Entahlah, yang kutahu aku punya pertanyaan yang simple tapi harus kutanyakan. Pertanyaan yang realistis, mengenai sesuatu yang sangat mungkin terjadi nanti di lapangan. Soal kritik mengkritik, itu bukan urusanku. Aku seperti belum tersadar, sampai aku dikejutkan dengan riuh tepuk tangan begitu pertanyaanku selesai dilontarkan. Duh Gusti,, aku sangat malu pada-Mu. Kenapa tidak kutanyakan nanti saja saat acara selesai. Atau harusnya tadi minta tolong temanku yang menanyakan.  Tapi, toh aku ini siapa? Apa peduli mereka denganku. Aku hanya mahasiswa biasa yang tidak populer. Paling keluar dari ruangan ini mereka tidak akan ingat lagi siapa aku. Pikirku menenangkan diri.
Pembekalan berikutnya sudah dipisahkan menurut lokasi kabupaten. Alhamdulillah aku dapat lokasi di Kendal. Tepatnya Desa Kangkung, Kecamatan Kangkung. Dilihat topografisnya, Kendal memiliki area yang mudah dijangkau dibanding daerah di Kabupaten Semarang seperti Tengaran dan sekitarnya. Hari ini penentuan siapa yang akan menjadi Koordinator Kecamatan (Korcam). Untuk kecamatan Kaliwungu terpilih mahasiswa laki-laki dari jurusanku. Untuk Kecamatan Kangkung dibuka lowongan 3 calon Korcam dari 3  fakultas. Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) diwakili oleh si Ketua BEM yang langsung maju mencalonkan diri. Fakultas MIPA, para mahasiswanya yang sebagian besar cewe-cewe serempak memilih ‘sang idola’ untuk maju.  Si ‘cowo’ Fisika yang menurut penggemarnya berwajah kinclong pun maju dengan senyum tebar pesonanya.   Tinggal Fakultas Bahasa dan Sastra  yang belum mengajukan calon. Tak ada yang bergeming, kami cuma saling tengok. Mencari dari arah mana sang calon akan maju.
Akhirnya para dosen langsung menunjuk salah satu nama dengan rekomendasi para mahasiswa yang duduk di barisan depan.  “Silahkan para calon Korcam Kangkung untuk maju ke depan.”  Dua orang yang sama-sama populer sudah maju di depan. Semua masih penasaran menunggu  calon dari FPBS. Belum ada yang beranjak dari tempat duduk sampai disebut sebuah nama. Aku terhenyak. Semoga Pak Dosen salah menyebut nama.  Itu tidak mungkin aku. Aku tidak pernah menginginkan jadi  Korcam meskipun dalam mimpi.  Aku mahasiswi biasa dengan jilbab besar dan baju kedodoran. Aku tidak pernah datang ke kampus kecuali ada jam kuliah. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di basecamp UKM sekalipun. Aku tidak pernah ikut kegiatan kampus semacam seminar atau pelatihan kepemimpinan apalagi aksi sosial atau demonstrasi di jalan. Kalau kemarin aku bertanya di depan, itu hanya kebetulan. Itu bukan ukuran seseorang memiliki kapasitas atau tidak untuk menjadi Korcam.
Kakiku lemas, aku tidak berkata sepatah kata pun. Suara-suara dari sebelahku yang mempersilahkan aku untuk lewat tidak kuhiraukan. Ah, aku kan baru jadi calon. Rivalku adalah seorang Presiden BEM. Orang nomor 1 di kampus. Satunya, cowo populer yang tidak cuma bermodal tampang. Tapi juga aktivis di BEM dan berprestasi di jurusannya. Sedangkan aku? Pasti hanya beberapa gelintir orang yang akan memilihku. Jadi kukuatkan diri untuk maju ke depan dan duduk di kursi dengan tatapan kosong.  Dosen pembimbing pun memimpin aklamasi. Pertama untuk sang ketua BEM. Satu, dua, tiga… Ayolah, pasti tak perlu pikir panjang untuk mengangkat tangan tanda dukungan pada sang ketua BEM! Tapi hanya sampai hitungan ke 3, tidak ada tangan yang terangkat. Ini pasti kesalahan. Seorang presiden BEM hanya mendapat 3 suara. Ah, mungkin nanti semua memilih si cowo Fisika karena tampangnya lebih menawan hati para mahasisiwi. Dan terbukti dengan 40 tangan yang mengacung untuk si cowo Fisika. Tinggal aku sekarang. Semoga banyak yang abstain. Kalau tidak memilih kedua calon sebelumnya, apa untungnya memilihku. AKu tidak berani ikut menghitung tangan yang terangkat. Dan ternyata hitungan dosen berhenti pada angka…. 41! Glek!
Sungguh, aku berharap ini mimpi! Aku tidak bisa berpikir untuk bebearapa saat lamanya. Yang kubayangkan pertama kali adalah, bagaimana jika teman-teman dekatku baik di ta’lim atau kost tahu? Orang sepertiku yang sudah ngaji dan terkenal anti dengan hal-hal berbau politik dan kekuasaan, yang tidak pernah menyentuh kegiatan apapun demi menghindari berbagai mudharat tiba-tiba menjadi Korcam KKN. Satu-satunya Korcam perempuan! Tidak mungkin aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak tahu hukum kepemimpinan wanita.
 Walaupun hanya untuk 45 hari memimpin, tapi menjadi Korcam bukan tugas ringan. Memimpin 136 mahasiswa  yang tersebar di 15 desa. Itu berarti aku harus mengkoordinir para Kordes (Koordinator Desa) yang jumlahnya ada 15 dan sebagian besar adalah laki-laki. Padahal kecamatan lain maksimal hanya 3 desa. Program yang dilaksanakan juga bukan hal mudah. Mengajari warga yang belum bisa baca tulis. Satu mahasiswa waiib mencari 10 warga belajar untuk dibimbing dalam waktu 45 hari. Bisa dipastikan masyarakat yang belum bisa baca tulis itu ada pada kisaran usia 40 tahun ke atas. Bahkan mungkin sebagian besar adalah lansia. Mengajak mereka untuk mau belajar di usia yang sudah tidak lagi produktif itu pasti butuh perjuangan. Tanpa kerja keras mustahil target 1.360 warga belajar bisa tercapai dalam waktu 45 hari. Belum lagi harus berinteraksi dengan pihak Kecamatan, para Lurah beserta pamongnya.  Semakin berat karena sang Presiden BEM pasti akan sangat mengawasi kinerjaku setelah aku ‘dianggap’ menelanjanginya di pemilihan Korcam.
Amanah sudah terlanjur dibebankan di pundakku. Permohonanku untuk mengundurkan diri ditolak mentah-mentah. “Aku percaya, kamu pasti bisa!” Alih-alih bisa memahami yang kurasakan, mereka justru semangat memberikan dukungan. Termasuk si ‘cowo’ Fisika populer yang otomatis menjadi Wakil Korcam. “Saya siap membantu mba. Jangan khawatir, bisa saja ini hanya formalitas. Hitam di atas putih mba-lah ketuanya. Tapi nanti di lapangan, saya dan teman-teman akan membantu semua tugas mba. Bla..bla..bla..” Duhai Rabbi, tidak ada yang memahami apa yang membuatku tertekan. “Selamat ya, terima kasih. Kami sangat senang melihat Presiden BEM dikalahkan oleh anda.” Bah! Ada pula yang memberi komentar dengan nada konspirasi. Aku benar-benar terperangkap. Akhirnya dengan hanya modal pengalaman jadi ketua OSIS saat SMP dan sekretaris OSIS saat SMA, aku bertekad menjalankan amanah sebaik-baiknya. Meskipun sulit, aku berusaha mencari hikmah atas semua ini. Yang jelas ini pelajaran berharga agar aku tidak tergiur untuk bertanya di depan umum. Yah, siapa tahu nanti bisa merubah image jelek masyarakat terhadap orang berkerudung besar. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni dosaku, Qodarullahu wa maa syafa’ala. Kalau Engkau tidak menghendaki tidak mungkin ini semua kulalui. Aku hanya mohon agar diberi kesempatan untuk menebus kesalahanku ini. Bimbinglah hamba dengan taufik dan hidayah-Mu. Aamiin.
Hari-hari yang terasa panjang pun dimulai. Bersama 10 teman mahasiswi lain aku tinggal di rumah warga yang seorang janda. Alhamdulillah, ini termasuk kemudahan dari Allah Tabaarokawata’ala. Aku tidak perlu ribet dengan jilbab dan kaos kaki  setiap waktu karena tidak ada laki-laki di posko. Satu-satunya laki-laki yang juga Kordesku ditempatkan di rumah seberang. Semua teman satu posko adalah orang yang baru kukenal. Agak kecewa sebenarnya karena aku tidak jadi satu posko dengan Nurul. Dia termasuk teman dekat di kelas, dan sudah sangat mengerti bagaimana diriku. Bahkan beberapa kali dia menolongku meminjami uang.
Aku menjalani tugas ganda. Sebagai anggota tim yang harus mencari 20 warga belajar untuk dibina dan mengoordinir semua mahasiswa. Ponselku hampir tak pernah berhenti menerima SMS dan telepon. Beberapa kali nge-hang karena overload SMS.   Sepekan sekali aku harus melakukan supervisi ke 15 desa. Karena tidak mungkin dilakukan dalam sehari, kubagi menjadi 2 hari. Tak jarang dalam sehari aku bolak-balik Kendal-Semarang untuk berkoordinasi dengan pihak kampus dan Dosen Pembimbing. Hampir tak ada waktu untuk merehatkan diri. Tiap hari selalu ada yang datang ke posko mencariku, konsultasi atau membahas permasalahan di lapangan. Aku sudah tidak mengenali wajahku di cermin. Mukaku kusam karena paparan matahari dan debu jalanan. Mataku cekung karena kurang tidur.  Jika sudah terasa nge-drop, aku mengungsi ke posko desa Nurul. Berbeda dengan poskoku, disitu begitu tenang dan adem. Aku bisa tidur siang walau sebentar. Nurul sangat baik, dia melayaniku seperi melayani ratu. Memang begitulah orangnya, polos dan tulus. Dia juga rupanya jadi kesayangan Ibu Carik karena rajin membantu di dapur. Tak hanya itu, kordesnya sendiri pun ia bantu cucikan bajunya. Sang kordes yang mahasiswa laki-laki berpostur pendek dan usianya sepertinya di atasku itu pasti sangat senang memiliki anak buah seperti Nurul. Ternyata di posko Nurul juga aku bisa menyelesaikan tugas administratif karena di rumah anak Ibu Carik tempat sang kordes tinggal ada unit komputer yang bisa kugunakan. Lama-lama teman kordes lain tahu persembunyainku, kalau aku tak ada di posko Korcam mereka tahu dimana bisa bertemu denganku. Selain Nurul, ada juga dua orang yangs erring kusambangi poskonya. Mereka berdua aktif di Rokhis kampus. Meski jilbabnya tak sebesar diriku, paling tidak mereka sama-sama tidak mau boncengan dan salaman dengan laki-laki. Kemana-mana aku sering mengajak mereka.
Selain jadi ‘orang sibuk’ dadakan, ternyata jadi ‘selebritis’ dadakan juga. Banyak yang ingin tahu tentangku lebih jauh. Darimana asalku, dimana kostku, sudah punya calon atau belum? Glek! Suatu hari Ibu Kostku dari Semarang datang menjenguk saat ada rapat kecil di posko. Entah darimana asap itu berasal, besoknya beredar kabar bahwa aku sudah dijodohkan oleh Ibu Kost. Memang tidak sepenuhnya keliru, tapi ada hal yang tidak bisa aku ceritakan disini. “Wah, berarti Bu Korcam sudah tidak membuka lowongan ya. Karena posisinya sudah terisi.” Seorang teman mahasisiwi mencandaiku di depan forum rapat kordes. Aku tidak berkomentar karena tidak langsung hal itu menguntungkanku.
Tanpa terasa masa berat itu hampir usai. Awal Ramadhan 2008 kami masih di lokasi. Sekarang aku mulai disibukkan dengan penyusunan laporan. Semua mahasiswa kupastikan tidak melakukan kesalahan dalam laporan, meski harus kuundang mereka ke briefing dadakan beberapa kali. Aku tidak mau KKN usai masih harus bolak-balik ke kampus mengurusi laporan yang salah. Aku ingin fokus dengan ramadhanku. Kali ini aku tidak harus mondar-mandir Kendal-Semarang. Ada yang mau menggantikan tugasku, kordesnya si Nurul. Meskipun awalnya kupandang sebelah mata, ia lumayan bisa diandalkan. Rekapitulasi data juga ia yang membantu.
Hari ke-lima Ramadhan, mentari cerah menguapkan embun di pucuk-pucuk tembakau yang menghampar di sekeliling bangunan  Kecamatan Kangkung. Semua sumringah, karena hari ini petualangan kami disini purna sudah. Selesai acara pelepasan, dengan suka cita aku aku tancap gas ke Semarang. Ingin segera kulepas penat ini di kamar kostku yang jauh dari keramaian. Ingin lekas ku up-grade isi hati dan otak ini dengan ilmu. Satu setengah bulan tanpa siraman kajian sungguh membuat jiwa ini terasa kering. Ingin kembali kutata hati. “Ya Allah, kembalikan izzahku sebagai wanita sholehah…” Ucapku lirih dengan air mata berderai-derai di tengah keramaian jalan raya Kendal-Semarang.
Tapi ada kegalauan yang belum bisa kusingkirkan, “Di mana ia gerangan?”