Rabu, 15 Mei 2013

BADAI PASTI MENGGUNCANG LAYAR YANG BARU TERKEMBANG



Lamanya proses saling mengenal (baca:pacaran), bukan penentu dua insan yang terikat tali pernikahan bisa saling memahami dan menerima satu sama lain. Yang lama sudah saling mengenal sebelum menikah bukan berarti bebas dari masalah. Apalagi istilah ‘pacaran’ tidak pernah dikenal oleh kamus Islam sebagai salah satu proses yang harus dilakoni menjelang pernikahan. Allah ta’ala dan Rasul-Nya mencukupkan kita dengan proses yang suci nan terjaga (nazhor, ta’aruf dan khitbah) untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Adapun ujian yang menerpa setiap biduk rumah tangga, maka itu adalah ketetapan yang Allah gariskan. Tidak ada mahligai pernikahan yang Allah bebaskan dari cobaan. Permasalahan pasti mengetuk setiap pintu rumah, angin cobaan akan berhembus dari arah mana saja yang Allah kehendaki. Tanpa kecuali.
Menyadari hal tersebut, tidak ada kata lain selain tawakal ketika kaki ini mulai menapaki gerbang pernikahan. Dengan status sama-sama masih mahasiswa, kami belajar mengatur kehidupan yang hanya mengandalkan gaji seorang guru qiraaty. Menempati rumah kontrakan sederhana di tengah lingkungan kampung, kami belajar bagaimana berinteraksi dengan realita dunia. Sama-sama jauh dari sanak keluarga, kami berusaha mandiri; mencukupi segala hajat hidup dari keringat sendiri. Sebagai hamba, kami tidak bisa menawar jenis ujian yang akan Allah berikan. Kami hanya yakin, Allah tabarokawataa’la tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan. Ujian yang Allah pilihkan adalah sesuai dengan sifat Allah yang Maha Adil dan Maha Penyayang.
Kami pun tiada menyangka, sang pemilik kontrakan yang tinggal tepat di sebelah kami –bahkan masih satu atap- adalah batu ujian bagi kami. Usianya yang sudah renta tak jadi alasan untuk selalu bersikap kasar. Memiliki anak perempuan yang dibawa suaminya jauh ke Kanada, tak melembutkan hatinya untuk berbaik hati padaku; anak perempuan yang juga jauh dari orangtua. Jika sedang ditinggal suami mengajar atau kuliah, tak jarang kututup telinga demi mendengar umpatan-umpatannya. Seringkali tiba-tiba air mati padahal aku belum usai mandi. Cucianku yang memenuhi jemuran selalu jadi sasaran kemarahan. Dianggap menghabis-habiskan air. Tapi tak jarang juga ia marah-marah tanpa alasan.  Apakah mungkin kami sebagai pasangan muda kurang bisa membawa diri? Padahal sekuat tenaga kami penuhi hak-haknya. Meskipun hak kami sering dibatasai. Kami tak pernah menolak diberi makanan meski kami tak suka. Kami selalu menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Tak pernah ada suara gaduh dari kami yang mungkin mengganggu. Kami pun tak keberatan jika tagihan air dan listrik dibebankan pada kami semua. Padahal tak ada alat elektronik apapun semacam TV, kulkas apalagi mesin cuci yang kami miliki. Namun tetap, kebaikan-kebaikan yang kami upayakan tak merobohkan segala sifatnya yang sangat membuat kami -terutama diriku- merasa tertekan.
Saat coba kuutarakan dengan seorang teman yang kebetulan tinggal berada dalam satu lingkungan, memang kudapatkan pembenaran. Bahwa memang begitulah karakter si pemilik kontrakan, semua orang sudah mengenalnya. Tapi tidak kuperoleh saran apalagi bantuan bagaimana bisa keluar dari masalah kami. Maka hanya kesabaran, yang semoga mampu membuat kami bertahan. Jika harus pindah kontrakan, uang kami sudah tak cukup. Biaya kuliah kami berdua saja sudah melepas perhiasanku satu persatu. Kami harus tetap fokus pada kuliah yang sekarang tinggal sejengkal lagi; skripsi. Ke kampus berarti menempuh perjalanan yang lumayan dari Tembalang, tapi semangat untuk segera lulus tak membuatku merasa lelah harus bolak-balik setiap hari. Pun juga dengan suami, aku harus sabar menunggu hingga malam sendirian karena mata kuliah yang harus ia ikuti masih lumayan; mengganti satu semester yang dulu pernah ia tinggalkan karena kehabisan uang. Hingga tidak kusadari bulan itu aku sudah telat 1 pekan. Sebelum memastikannnya ke dokter, masih kutahan luapan kegembiraan menjadi seorang calon ibu.
Beberapa rumah sakit kami datangi, ternyata semua dokter kandungan perempuan sedang mengikuti konferensi nasional. Maka, karena darurat terpaksa kuperiksakan kandungan pada dokter laki-laki yang usianya tak lagi muda.
“Anda harus bedrest. Jika masih jadi rezeki, insya Allah akan bertahan sampai kandungan anda dinyatakan kuat.”
Tak ada senyum apalagi luapan kegembiraan demi mendengar penjelasan sang dokter. Namun suamiku berusaha menguatkanku. Segala aktivitasku dihentikan. Tak ada lagi bimbingan skripsi ke kampus, pun memberi bimbingan translasi literature S2 pada salah seorang dokter gigi, atau memberi les privat anak salah seorang dosen MIPA di kampus yang mengenalku saat KKN. Demi kesehatan sang jabang bayi, 24 jam aku harus berada di tempat tidur. Namun pikiran ini tak bisa tenang, kalau-kalau suara amarah atau umpatan dari bilik sebelah terdengar sewaktu-waktu. Aku juga memikirkan skripsiku yang sudah revisi tahap akhir. Akhirnya setelah kubujuk suamiku, aku diperkenankan merevisi dengan bantuan suamiku yang mengetik. Beliau pun bersedia ke kampus menyerahkan berkas ujian skripsiku, dibantu seorang teman kelasku. Sudah ditentukan bahwa ujian skripsiku adalah pekan depan. Walaupun suamiku keberatan, aku bersikeras untuk mengikuti ujian. Kupastikan nanti bisa menyewa kursi roda atau apapun caranya agar aku bisa duduk di depan tiga dosen penguji.
Nyatanya, Allah berkehendak lain. Sekeras apapun usahaku untuk bertahan dan sebanyak apapun do’a dipanjatkan, takdir Allah tak bisa kita dahului. Hanya satu pekan aku sanggup menjalankan bedrest, aku dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. Dan hari itu, hari dimana harusnya aku duduk di depan tiga dosen penguji skripsi, aku justru berada di bilik operasi untuk operasi curet. Qodarullahu wamasyafa’ala….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar