Sabtu, 27 April 2013

Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (2)



Ruang aula sudah hampir terisi penuh saat aku masuk dengan mengenakan seragam hitam putih dan jilbab hitam tentunya. Berpasang mata memandang ke arahku. Yang belum mengenalku mungkin masih terasa aneh dengan jilbab hitam besarku. Karena ketentuannya adalah memakai jilbab putih. Padahal yang sudah mengenalku mungkin bertanya-tanya, kenapa hari ini aku ‘berani’ mengenakan setelan rok dan baju? Bukan gamis seperti biasa? Tapi tidak ada yang berani bertanya, sehingga tak ada yang tahu aku saat itu belum punya baju overral (gamis tanpa lengan) yang bisa kukenakan dengan baju putih. Hari itu pembekalan pertama, pesertanya seluruh mahasiswa dari semua fakultas. Sangat banyak wajah yang tidak aku kenal. 
Setelah satu persatu pemateri menyampaikan penjelasan, dibukalah sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama dari ketua BEM, tentang raport merah KKN. Apalagi ini adalah KKN subsidi dari pemerintah dengan program Pemberantasan Buta Aksara. Sangat lumrah tentunya jika seorang ketua BEM mengajukan pertanyaan kritis. Kedua, disusul oleh teman si ketua BEM. Masih senada dengan pertanyaan pertama. Entah apa yang ada di benakku, tiba-tiba kuacungkan tangan. Mengajukan diri menjadi penanya ketiga. Apakah aku lupa sekarang berada dimana? Banyak mahasiswa laki-laki yang akan melihat, apakah tidak takut menjadi fitnah karena tertarik dengan wajah manismu? Atau mungkin ada mahasiswa perempuan yang baru melihatmu lalu berteriak girang pada temannya “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu kan?!!” Entahlah, yang kutahu aku punya pertanyaan yang simple tapi harus kutanyakan. Pertanyaan yang realistis, mengenai sesuatu yang sangat mungkin terjadi nanti di lapangan. Soal kritik mengkritik, itu bukan urusanku. Aku seperti belum tersadar, sampai aku dikejutkan dengan riuh tepuk tangan begitu pertanyaanku selesai dilontarkan. Duh Gusti,, aku sangat malu pada-Mu. Kenapa tidak kutanyakan nanti saja saat acara selesai. Atau harusnya tadi minta tolong temanku yang menanyakan.  Tapi, toh aku ini siapa? Apa peduli mereka denganku. Aku hanya mahasiswa biasa yang tidak populer. Paling keluar dari ruangan ini mereka tidak akan ingat lagi siapa aku. Pikirku menenangkan diri.
Pembekalan berikutnya sudah dipisahkan menurut lokasi kabupaten. Alhamdulillah aku dapat lokasi di Kendal. Tepatnya Desa Kangkung, Kecamatan Kangkung. Dilihat topografisnya, Kendal memiliki area yang mudah dijangkau dibanding daerah di Kabupaten Semarang seperti Tengaran dan sekitarnya. Hari ini penentuan siapa yang akan menjadi Koordinator Kecamatan (Korcam). Untuk kecamatan Kaliwungu terpilih mahasiswa laki-laki dari jurusanku. Untuk Kecamatan Kangkung dibuka lowongan 3 calon Korcam dari 3  fakultas. Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) diwakili oleh si Ketua BEM yang langsung maju mencalonkan diri. Fakultas MIPA, para mahasiswanya yang sebagian besar cewe-cewe serempak memilih ‘sang idola’ untuk maju.  Si ‘cowo’ Fisika yang menurut penggemarnya berwajah kinclong pun maju dengan senyum tebar pesonanya.   Tinggal Fakultas Bahasa dan Sastra  yang belum mengajukan calon. Tak ada yang bergeming, kami cuma saling tengok. Mencari dari arah mana sang calon akan maju.
Akhirnya para dosen langsung menunjuk salah satu nama dengan rekomendasi para mahasiswa yang duduk di barisan depan.  “Silahkan para calon Korcam Kangkung untuk maju ke depan.”  Dua orang yang sama-sama populer sudah maju di depan. Semua masih penasaran menunggu  calon dari FPBS. Belum ada yang beranjak dari tempat duduk sampai disebut sebuah nama. Aku terhenyak. Semoga Pak Dosen salah menyebut nama.  Itu tidak mungkin aku. Aku tidak pernah menginginkan jadi  Korcam meskipun dalam mimpi.  Aku mahasiswi biasa dengan jilbab besar dan baju kedodoran. Aku tidak pernah datang ke kampus kecuali ada jam kuliah. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di basecamp UKM sekalipun. Aku tidak pernah ikut kegiatan kampus semacam seminar atau pelatihan kepemimpinan apalagi aksi sosial atau demonstrasi di jalan. Kalau kemarin aku bertanya di depan, itu hanya kebetulan. Itu bukan ukuran seseorang memiliki kapasitas atau tidak untuk menjadi Korcam.
Kakiku lemas, aku tidak berkata sepatah kata pun. Suara-suara dari sebelahku yang mempersilahkan aku untuk lewat tidak kuhiraukan. Ah, aku kan baru jadi calon. Rivalku adalah seorang Presiden BEM. Orang nomor 1 di kampus. Satunya, cowo populer yang tidak cuma bermodal tampang. Tapi juga aktivis di BEM dan berprestasi di jurusannya. Sedangkan aku? Pasti hanya beberapa gelintir orang yang akan memilihku. Jadi kukuatkan diri untuk maju ke depan dan duduk di kursi dengan tatapan kosong.  Dosen pembimbing pun memimpin aklamasi. Pertama untuk sang ketua BEM. Satu, dua, tiga… Ayolah, pasti tak perlu pikir panjang untuk mengangkat tangan tanda dukungan pada sang ketua BEM! Tapi hanya sampai hitungan ke 3, tidak ada tangan yang terangkat. Ini pasti kesalahan. Seorang presiden BEM hanya mendapat 3 suara. Ah, mungkin nanti semua memilih si cowo Fisika karena tampangnya lebih menawan hati para mahasisiwi. Dan terbukti dengan 40 tangan yang mengacung untuk si cowo Fisika. Tinggal aku sekarang. Semoga banyak yang abstain. Kalau tidak memilih kedua calon sebelumnya, apa untungnya memilihku. AKu tidak berani ikut menghitung tangan yang terangkat. Dan ternyata hitungan dosen berhenti pada angka…. 41! Glek!
Sungguh, aku berharap ini mimpi! Aku tidak bisa berpikir untuk bebearapa saat lamanya. Yang kubayangkan pertama kali adalah, bagaimana jika teman-teman dekatku baik di ta’lim atau kost tahu? Orang sepertiku yang sudah ngaji dan terkenal anti dengan hal-hal berbau politik dan kekuasaan, yang tidak pernah menyentuh kegiatan apapun demi menghindari berbagai mudharat tiba-tiba menjadi Korcam KKN. Satu-satunya Korcam perempuan! Tidak mungkin aku mengatakan pada mereka bahwa aku tidak tahu hukum kepemimpinan wanita.
 Walaupun hanya untuk 45 hari memimpin, tapi menjadi Korcam bukan tugas ringan. Memimpin 136 mahasiswa  yang tersebar di 15 desa. Itu berarti aku harus mengkoordinir para Kordes (Koordinator Desa) yang jumlahnya ada 15 dan sebagian besar adalah laki-laki. Padahal kecamatan lain maksimal hanya 3 desa. Program yang dilaksanakan juga bukan hal mudah. Mengajari warga yang belum bisa baca tulis. Satu mahasiswa waiib mencari 10 warga belajar untuk dibimbing dalam waktu 45 hari. Bisa dipastikan masyarakat yang belum bisa baca tulis itu ada pada kisaran usia 40 tahun ke atas. Bahkan mungkin sebagian besar adalah lansia. Mengajak mereka untuk mau belajar di usia yang sudah tidak lagi produktif itu pasti butuh perjuangan. Tanpa kerja keras mustahil target 1.360 warga belajar bisa tercapai dalam waktu 45 hari. Belum lagi harus berinteraksi dengan pihak Kecamatan, para Lurah beserta pamongnya.  Semakin berat karena sang Presiden BEM pasti akan sangat mengawasi kinerjaku setelah aku ‘dianggap’ menelanjanginya di pemilihan Korcam.
Amanah sudah terlanjur dibebankan di pundakku. Permohonanku untuk mengundurkan diri ditolak mentah-mentah. “Aku percaya, kamu pasti bisa!” Alih-alih bisa memahami yang kurasakan, mereka justru semangat memberikan dukungan. Termasuk si ‘cowo’ Fisika populer yang otomatis menjadi Wakil Korcam. “Saya siap membantu mba. Jangan khawatir, bisa saja ini hanya formalitas. Hitam di atas putih mba-lah ketuanya. Tapi nanti di lapangan, saya dan teman-teman akan membantu semua tugas mba. Bla..bla..bla..” Duhai Rabbi, tidak ada yang memahami apa yang membuatku tertekan. “Selamat ya, terima kasih. Kami sangat senang melihat Presiden BEM dikalahkan oleh anda.” Bah! Ada pula yang memberi komentar dengan nada konspirasi. Aku benar-benar terperangkap. Akhirnya dengan hanya modal pengalaman jadi ketua OSIS saat SMP dan sekretaris OSIS saat SMA, aku bertekad menjalankan amanah sebaik-baiknya. Meskipun sulit, aku berusaha mencari hikmah atas semua ini. Yang jelas ini pelajaran berharga agar aku tidak tergiur untuk bertanya di depan umum. Yah, siapa tahu nanti bisa merubah image jelek masyarakat terhadap orang berkerudung besar. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni dosaku, Qodarullahu wa maa syafa’ala. Kalau Engkau tidak menghendaki tidak mungkin ini semua kulalui. Aku hanya mohon agar diberi kesempatan untuk menebus kesalahanku ini. Bimbinglah hamba dengan taufik dan hidayah-Mu. Aamiin.
Hari-hari yang terasa panjang pun dimulai. Bersama 10 teman mahasiswi lain aku tinggal di rumah warga yang seorang janda. Alhamdulillah, ini termasuk kemudahan dari Allah Tabaarokawata’ala. Aku tidak perlu ribet dengan jilbab dan kaos kaki  setiap waktu karena tidak ada laki-laki di posko. Satu-satunya laki-laki yang juga Kordesku ditempatkan di rumah seberang. Semua teman satu posko adalah orang yang baru kukenal. Agak kecewa sebenarnya karena aku tidak jadi satu posko dengan Nurul. Dia termasuk teman dekat di kelas, dan sudah sangat mengerti bagaimana diriku. Bahkan beberapa kali dia menolongku meminjami uang.
Aku menjalani tugas ganda. Sebagai anggota tim yang harus mencari 20 warga belajar untuk dibina dan mengoordinir semua mahasiswa. Ponselku hampir tak pernah berhenti menerima SMS dan telepon. Beberapa kali nge-hang karena overload SMS.   Sepekan sekali aku harus melakukan supervisi ke 15 desa. Karena tidak mungkin dilakukan dalam sehari, kubagi menjadi 2 hari. Tak jarang dalam sehari aku bolak-balik Kendal-Semarang untuk berkoordinasi dengan pihak kampus dan Dosen Pembimbing. Hampir tak ada waktu untuk merehatkan diri. Tiap hari selalu ada yang datang ke posko mencariku, konsultasi atau membahas permasalahan di lapangan. Aku sudah tidak mengenali wajahku di cermin. Mukaku kusam karena paparan matahari dan debu jalanan. Mataku cekung karena kurang tidur.  Jika sudah terasa nge-drop, aku mengungsi ke posko desa Nurul. Berbeda dengan poskoku, disitu begitu tenang dan adem. Aku bisa tidur siang walau sebentar. Nurul sangat baik, dia melayaniku seperi melayani ratu. Memang begitulah orangnya, polos dan tulus. Dia juga rupanya jadi kesayangan Ibu Carik karena rajin membantu di dapur. Tak hanya itu, kordesnya sendiri pun ia bantu cucikan bajunya. Sang kordes yang mahasiswa laki-laki berpostur pendek dan usianya sepertinya di atasku itu pasti sangat senang memiliki anak buah seperti Nurul. Ternyata di posko Nurul juga aku bisa menyelesaikan tugas administratif karena di rumah anak Ibu Carik tempat sang kordes tinggal ada unit komputer yang bisa kugunakan. Lama-lama teman kordes lain tahu persembunyainku, kalau aku tak ada di posko Korcam mereka tahu dimana bisa bertemu denganku. Selain Nurul, ada juga dua orang yangs erring kusambangi poskonya. Mereka berdua aktif di Rokhis kampus. Meski jilbabnya tak sebesar diriku, paling tidak mereka sama-sama tidak mau boncengan dan salaman dengan laki-laki. Kemana-mana aku sering mengajak mereka.
Selain jadi ‘orang sibuk’ dadakan, ternyata jadi ‘selebritis’ dadakan juga. Banyak yang ingin tahu tentangku lebih jauh. Darimana asalku, dimana kostku, sudah punya calon atau belum? Glek! Suatu hari Ibu Kostku dari Semarang datang menjenguk saat ada rapat kecil di posko. Entah darimana asap itu berasal, besoknya beredar kabar bahwa aku sudah dijodohkan oleh Ibu Kost. Memang tidak sepenuhnya keliru, tapi ada hal yang tidak bisa aku ceritakan disini. “Wah, berarti Bu Korcam sudah tidak membuka lowongan ya. Karena posisinya sudah terisi.” Seorang teman mahasisiwi mencandaiku di depan forum rapat kordes. Aku tidak berkomentar karena tidak langsung hal itu menguntungkanku.
Tanpa terasa masa berat itu hampir usai. Awal Ramadhan 2008 kami masih di lokasi. Sekarang aku mulai disibukkan dengan penyusunan laporan. Semua mahasiswa kupastikan tidak melakukan kesalahan dalam laporan, meski harus kuundang mereka ke briefing dadakan beberapa kali. Aku tidak mau KKN usai masih harus bolak-balik ke kampus mengurusi laporan yang salah. Aku ingin fokus dengan ramadhanku. Kali ini aku tidak harus mondar-mandir Kendal-Semarang. Ada yang mau menggantikan tugasku, kordesnya si Nurul. Meskipun awalnya kupandang sebelah mata, ia lumayan bisa diandalkan. Rekapitulasi data juga ia yang membantu.
Hari ke-lima Ramadhan, mentari cerah menguapkan embun di pucuk-pucuk tembakau yang menghampar di sekeliling bangunan  Kecamatan Kangkung. Semua sumringah, karena hari ini petualangan kami disini purna sudah. Selesai acara pelepasan, dengan suka cita aku aku tancap gas ke Semarang. Ingin segera kulepas penat ini di kamar kostku yang jauh dari keramaian. Ingin lekas ku up-grade isi hati dan otak ini dengan ilmu. Satu setengah bulan tanpa siraman kajian sungguh membuat jiwa ini terasa kering. Ingin kembali kutata hati. “Ya Allah, kembalikan izzahku sebagai wanita sholehah…” Ucapku lirih dengan air mata berderai-derai di tengah keramaian jalan raya Kendal-Semarang.
Tapi ada kegalauan yang belum bisa kusingkirkan, “Di mana ia gerangan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar