Patung Kuda Ngesrep, Banyumanik.
Seorang penumpang turun dari angkot. Wajahnya nampak letih dengan tas di
pundaknya. Mungkin energinya sudah terkuras dari pagi hingga malam ini. Tapi ia
harus bersabar jika ingin istirahat. Angkot kuning yang mengantar penumpang ke
daerah UNDIP sudah pulang ke kandang masing-masing. Itu berarti ia harus jalan
kaki sekitar dua kilometer untuk sampai di tempat tidurnya yang jika siang hari merupakan ruangan UKS sekolah
tempat ia mengajar. Di pertengahan perjalanannya, sebuah mobil menepi.
“Mari Pak, ikut kami saja.”
“Oh, terima kasih Pak. Saya jalan
kaki saja.”
“Beneran Pak, tidak apa-apa.”
“Terima kasih sekali Pak, tapi saya enak
jalan kaki saja.”
“Oh, baiklah. Mari Pak, Assalamu’alaikum…”
“Mari Pak, Waalaikumussalam
Warrahmatullah.”
Entah kenapa dia menolak
tawaran orang tua murid itu, mungkin karena tidak mau merepotkan orang lain dan
tidak mau dikasihani. Baginya berjalan kaki dua kilometer pukul 9 malam itu
tidak ada apa-apanya dengan apa yang sering ia alami sebelumnya. Sewaktu masih
laju dari Demak, ia biasa pulang tengah malam dan sudah tidak ada angkutan umum
dari kampusnya di daerah Dr. Cipto ke jalan Raya Demak-Semarang. Biasanya dari
kampus ke Pedurungan, ia membonceng temannya. Setelah itu ia mencegat kendaraan
apa saja yang mau berhenti memberi tumpangan. Pernah ia menumpang kendaraan Satpol
PP, duduk di belakang seperti orang tertangkap razia. Pernah juga menumpang
truk pengangkut sisa material. Jika beruntung ia mendapat tumpangan mobil yang
lumayan bagus. Suatu ketika hujan deras dan jalanan banjir. Terpaksa ia berjalan
kaki berkilo-kilo meter ke rumahnya di Buyaran, Demak. Sampai rumah pukul
00.00, disambut tangis oleh ibunya yang dari tadimengkhawatirkan keadaannya. Tidak
kali itu saja sang ibu menangisinya. Awal kuliah saat belum mengajar, dia
pernah tidak bisa berangkat kuliah karena tidak punya ongkos naik angkot. Ibunya
menangis karena tidak bisa memberi uang saku. Baru satu semester kuliah, hampir tidak bisa meneruskan tidak ada biaya. Bermodal syahadah (ijazah) Qiraaty, ia memasukkan lamaran ke semua sekolah Islam di Semarang. Sampai akhirnya mendapat panggilan dari sebuah TK Islam di Tembalang.
Setiap pagi ia naik bis
yang melewati tol Tembalang. Sopir yang ‘baik hati’ mau menurunkan penumpang di
jalan tol walaupun sebenarnya dilarang. Apa boleh buat, jika tidak begitu ia
tidak bisa sampai di sekolah. Walaupun kadang harus kejar-kejaran dengan
petugas Satpol PP. Untungnya selamat setelah meloncat pagar betis kampung. Sebelumnya ia sempat bawa motor butut
kakaknya. Rupanya motor itu tidak bisa lama-lama dipaksa melewati tanjakan Sigar
Bencah ketika pagi hari, dan melewati tanjakan Gombel di malam hari saat pulang
kuliah.
Itulah sekilas cerita
yang kudengar tentangnya. Entah kenapa, semakin aku mendengar ceritanya, hati
ini bukannya menolak justru sebaliknya. “Pokoknya, dibandingkan kamu itu
bagaikan bumi sama langit. Keadaan keluarganya sangat jauh berbeda denganmu. Dia
itu kuliah biaya sendiri. Tinggalnya di sekolahan, sering numpang makan di
rumahku kalau kehabisan uang.” Panjang lebar aku mendengarkan penjelasan di telepon.
Sengaja aku bertanya karena beliau TU sekolah yang pasti tahu banyak
tentangnya. Sebenarnya, saat belum mengenalnya pun aku sering mendengar temanku
satu posko KKN bercerita tentangnya.
“Maaf, aku tidak bisa menjawab
sekarang. Beri aku waktu, kembali dari mudik nanti kuberi keputusan.”
“Kira-kira berapa lama?”
“Sekitar satu pekan lagi.”
Aku tak pernah sebimbang
ini sebelumnya. Menyangka pun tidak, jika orang yang berniat mengkhitbahku
adalah dia. Yang saat KKN kupandang tidak ada apa-apanya di mataku. Aku akui
dia memang sanagt baik hati, punya kelebihan pintar mendekati anak-anak kecil. Pernah
anak-anak kampung saat KKN ramai-ramai demo di depan poskoku. Mereka minta
didatangkan kakak yang kemarin malam mendongeng di depan rumah. Mereka tidak
mau kubujuk, usahaku mendongeng malah jadi bahan ejekan. Aku kewalahan dan
akhirnya kutelpon ‘kakak’ yang diminta anak-anak untuk datang. Dan dia pun benar-benar
mau datang, padahal di telpon kudengar suaranya sangat berat tanda sudah tertidur.
Dia juga yang sering kusuruh bolak-balik ke Semarang menemui dosen pembimbing. Terakhir,
dia yang membantu membetulakn laptopku. Dialah kordesnya si Nurul.
Tapi sebaik apapun dia,
jika di-match dengan kriteriaku tidak
ada yang cocok. Apakah dia ikhwan salafy? Bukan. Apakah dia memakai celana
cingkrang dan punya jenggot? No. Lebih tinggi dariku (meski ga harus)? Juga tidak.
Apalagi kulihat beberapa kali dia memboncengkan si Nurul. Dia pemuda biasa. Padahal
selama ini aku mati-matian menolak untuk dijodohkan karena alasan-alasan
tersebut. Ya Rabbi… Semoga ini bukan karena dosa-dosaku saat KKN. Kenapa jejak KKN masih saja mengikuti, bahkan semakin
kuat. Inginnya, aku putus dengan semua hal yang berhubungan dengan KKN yang
sudah berlalu. Karena di KKN aku merasa menjadi orang yang melucuti
diri-sendiri. Ya Allah, kembalikan hamba ke jalan ilmu.
Setelah KKN, kini aku
bersiap untuk petualangan berikutnya; Praktik Pendidikan Lapangan (PPL). Kali ini
aku lebih hati-hati. ‘Mengembalikan ‘izzah sebagai wanita sholehah’. Itu yang
kini jadi misi hidupku. aNamun, aku tetap tidak tega ketika datang temanku
memohon-mohon untuk bertukar tempat praktik. Dia memintaku menggantikannya
praktik di SMA 3. “Tolonglah mba, aku benar-benar tidak sanggup. Aku sampai
stress tidak bisa tidur.” Akhirnya kuterima permohonannya. Bismillaah, aku
tidak berniat apa-apa kecuali menolong teman yang membutuhkan bantuan. Kulihat
dia benar-benar tertekan, mungkin bayangannya sangat mengerikan harus praktik
mengajar Bahasa Inggris di sekolah yang dikenal favorit di Kota Semarang. Aku berdo’a
semoga ada hikmah di balik ini.
“Semester 2 dia ga bisa
ikut ujian karena tidak ada uang untuk bayar administrasi. Padahal selama satu
semester itu dia ikut perkuliahan, sayang sekali saat ujian malah ga bisa ikut.
Teman-teman sudah sepakat mau membantu, tapi dia ga mau. Dia pilih untuk
mengulang semua mata kuliah di semester berikutnya. Dia disegani di kelas,
karena dia paling ‘bener’ dibanding yang lain. Waktunya sholat pasti ngajak
sholat. Katanya si dulu setelah SMA mondok dulu lama baru kuliah. Usianya kan
lima tahun di atas kita.” Tanpa kuminta, ia bercerita panjang lebar tentang si
Kordes yang hendak melamar bu Korcam. Temanku itu memang suka membicarakannya,
karena cerita hidupnya dianggap menginspirasi banyak orang. Apalagi bagi
mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling yang tugasnya memang memberi motivasi
pada anak-anak sekolah.
"Mba, waktu pembekalan KKN dulu. Mba kan tanya di depan to, saat itu aku reflek berseru sama dia “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu kan?!!” hihihi..." Aku berusaha menyembunyikan mukaku yang memerah. "Ah, kamu bisa aja, ngawur!" balasku. Tapi tentu saja masih kurahasiakan tentang khitbahnya padaku karena belum ada keputusan pasti.Entah apa reaksi temanku itu jika tahu ucapannya (akan) jadi kenyataan.
"Mba, waktu pembekalan KKN dulu. Mba kan tanya di depan to, saat itu aku reflek berseru sama dia “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu kan?!!” hihihi..." Aku berusaha menyembunyikan mukaku yang memerah. "Ah, kamu bisa aja, ngawur!" balasku. Tapi tentu saja masih kurahasiakan tentang khitbahnya padaku karena belum ada keputusan pasti.Entah apa reaksi temanku itu jika tahu ucapannya (akan) jadi kenyataan.
“Antum langsung datang
saja ke orangtuaku.”
“Jadi jawabannya YA atau
TIDAK?”
“Antum tanya saja orang
tuaku.”
Terserah jika dia
menganggapku menggantungkan nasibnya atau tidak memberi keputusan jelas. Bagaimana
jika sudah jauh-jauh ke kampung lereng gunung di Brebes ternyata ditolak? Itu pikir
belakangan. Yang penting aku ingin lihat keseriusannya.
“Celananya cingkrang tidak?” Tanya
bapakku.
“Tidak.”
“Ada fotonya? Bapak mau
pastikan dulu.”
Waduh, mana punya aku
fotonya. Kalau ikhwan salafy sudah pasti tidak punya foto penuh satu badan. Tapi
si Kordes bukan ikhwan salafy dan aku tidak punya fotonya. Aku tahu karakter
Bapak yang tidak begitu saja langsung percaya. Cling! Aku ingat sesuatu. Ada oleh-oleh
dari pemuda Kangkung untuk tim KKN yang kubawa, CD kenang-kenangan. Akhirnya kutunjukkan
yang mana orangnya ke Bapak meski dengan muka merah merona menahan malu. “Kalau
serius suruh kesini secepatnya. Kalu bisa janagn sampai akhir bulan.”
26 Januari 2009.
Pertengahan PPL aku izin
pulang satu hari. Ada urusan yang tidak bisa kutinggalkan. Sang Kordes datang
ke. Ketika aku membaca buku tentang khitbah (lamaran) atau nazhor (proses
pra-nikah dimana si laki-laki boleh melihat wajah perempuan yang ingin dinikahinya),
hatiku turut berdebar-debar. Tapi saat aku mengalaminya sendiri, aku tidak
merasakan chemistry yang kubayangkan.
Entahlah, yang jelas hingga proses usai aku tidak berani mengangkat muka. Entah
mengapa.
Sepekan setelahnya,
orangtuaku ke Semarang mengajakku ikut kunjungan balasan ke Demak. Naik taksi kami
melewati jalanan yang tergenang diguyur hujan, ini kali pertama kulihat keadaan
rumah sang Kordes. Subhanallah! Seperti
yang si ibu TU katakan. Bagaikan bumi dan langit dibanding rumahku. Aku juga
baru mengenal Ayah Ibunya. Saat khitbah ia meminta orang lain yang meminangkan,
wali murid saat ia masih mengajar di pesantren. Namun itu tidak merubah
keputusan orangtuaku. 2 April 2009. Bapak dengan tegas menentukkan tanggal
pernikahan kami….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar