Sabtu, 27 April 2013

Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (3)



Patung Kuda Ngesrep, Banyumanik. Seorang penumpang turun dari angkot. Wajahnya nampak letih dengan tas di pundaknya. Mungkin energinya sudah terkuras dari pagi hingga malam ini. Tapi ia harus bersabar jika ingin istirahat. Angkot kuning yang mengantar penumpang ke daerah UNDIP sudah pulang ke kandang masing-masing. Itu berarti ia harus jalan kaki sekitar dua kilometer untuk sampai di tempat tidurnya yang  jika siang hari merupakan ruangan UKS sekolah tempat ia mengajar. Di pertengahan perjalanannya, sebuah mobil menepi.
“Mari Pak, ikut kami saja.”
“Oh, terima kasih Pak. Saya jalan kaki saja.”
“Beneran Pak, tidak apa-apa.”
“Terima kasih sekali Pak, tapi saya enak jalan kaki saja.”
“Oh, baiklah. Mari Pak, Assalamu’alaikum…”
“Mari Pak, Waalaikumussalam Warrahmatullah.”
Entah kenapa dia menolak tawaran orang tua murid itu, mungkin karena tidak mau merepotkan orang lain dan tidak mau dikasihani. Baginya berjalan kaki dua kilometer pukul 9 malam itu tidak ada apa-apanya dengan apa yang sering ia alami sebelumnya. Sewaktu masih laju dari Demak, ia biasa pulang tengah malam dan sudah tidak ada angkutan umum dari kampusnya di daerah Dr. Cipto ke jalan Raya Demak-Semarang. Biasanya dari kampus ke Pedurungan, ia membonceng temannya. Setelah itu ia mencegat kendaraan apa saja yang mau berhenti memberi tumpangan. Pernah ia menumpang kendaraan Satpol PP, duduk di belakang seperti orang tertangkap razia. Pernah juga menumpang truk pengangkut sisa material. Jika beruntung ia mendapat tumpangan mobil yang lumayan bagus. Suatu ketika hujan deras dan jalanan banjir. Terpaksa ia berjalan kaki berkilo-kilo meter ke rumahnya di Buyaran, Demak. Sampai rumah pukul 00.00, disambut tangis oleh ibunya yang dari tadimengkhawatirkan keadaannya. Tidak kali itu saja sang ibu menangisinya. Awal kuliah saat belum mengajar, dia pernah tidak bisa berangkat kuliah karena tidak punya ongkos naik angkot. Ibunya menangis karena tidak bisa memberi uang saku. Baru satu semester kuliah, hampir tidak bisa meneruskan tidak ada biaya. Bermodal syahadah (ijazah) Qiraaty, ia memasukkan lamaran ke semua sekolah Islam di Semarang. Sampai akhirnya mendapat panggilan dari sebuah TK Islam di Tembalang.
Setiap pagi ia naik bis yang melewati tol Tembalang. Sopir yang ‘baik hati’ mau menurunkan penumpang di jalan tol walaupun sebenarnya dilarang. Apa boleh buat, jika tidak begitu ia tidak bisa sampai di sekolah. Walaupun kadang harus kejar-kejaran dengan petugas Satpol PP. Untungnya selamat setelah meloncat pagar betis kampung.  Sebelumnya ia sempat bawa motor butut kakaknya. Rupanya motor itu tidak bisa lama-lama dipaksa melewati tanjakan Sigar Bencah ketika pagi hari, dan melewati tanjakan Gombel di malam hari saat pulang kuliah.
Itulah sekilas cerita yang kudengar tentangnya. Entah kenapa, semakin aku mendengar ceritanya, hati ini bukannya menolak justru sebaliknya. “Pokoknya, dibandingkan kamu itu bagaikan bumi sama langit. Keadaan keluarganya sangat jauh berbeda denganmu. Dia itu kuliah biaya sendiri. Tinggalnya di sekolahan, sering numpang makan di rumahku kalau kehabisan uang.” Panjang lebar aku mendengarkan penjelasan di telepon. Sengaja aku bertanya karena beliau TU sekolah yang pasti tahu banyak tentangnya. Sebenarnya, saat belum mengenalnya pun aku sering mendengar temanku satu posko KKN bercerita tentangnya.
“Maaf, aku tidak bisa menjawab sekarang. Beri aku waktu, kembali dari mudik nanti kuberi keputusan.”
“Kira-kira berapa lama?”
“Sekitar satu pekan lagi.”
Aku tak pernah sebimbang ini sebelumnya. Menyangka pun tidak, jika orang yang berniat mengkhitbahku adalah dia. Yang saat KKN kupandang tidak ada apa-apanya di mataku. Aku akui dia memang sanagt baik hati, punya kelebihan pintar mendekati anak-anak kecil. Pernah anak-anak kampung saat KKN ramai-ramai demo di depan poskoku. Mereka minta didatangkan kakak yang kemarin malam mendongeng di depan rumah. Mereka tidak mau kubujuk, usahaku mendongeng malah jadi bahan ejekan. Aku kewalahan dan akhirnya kutelpon ‘kakak’ yang diminta anak-anak untuk datang. Dan dia pun benar-benar mau datang, padahal di telpon kudengar suaranya sangat berat tanda sudah tertidur. Dia juga yang sering kusuruh bolak-balik ke Semarang menemui dosen pembimbing. Terakhir, dia yang membantu membetulakn laptopku. Dialah kordesnya si Nurul.
Tapi sebaik apapun dia, jika di-match dengan kriteriaku tidak ada yang cocok. Apakah dia ikhwan salafy? Bukan. Apakah dia memakai celana cingkrang dan punya jenggot? No. Lebih tinggi dariku (meski ga harus)? Juga tidak. Apalagi kulihat beberapa kali dia memboncengkan si Nurul. Dia pemuda biasa. Padahal selama ini aku mati-matian menolak untuk dijodohkan karena alasan-alasan tersebut. Ya Rabbi… Semoga ini bukan karena dosa-dosaku saat KKN. Kenapa jejak KKN masih saja mengikuti, bahkan semakin kuat. Inginnya, aku putus dengan semua hal yang berhubungan dengan KKN yang sudah berlalu. Karena di KKN aku merasa menjadi orang yang melucuti diri-sendiri. Ya Allah, kembalikan hamba ke jalan ilmu.
Setelah KKN, kini aku bersiap untuk petualangan berikutnya; Praktik Pendidikan Lapangan (PPL). Kali ini aku lebih hati-hati. ‘Mengembalikan ‘izzah sebagai wanita sholehah’. Itu yang kini jadi misi hidupku. aNamun, aku tetap tidak tega ketika datang temanku memohon-mohon untuk bertukar tempat praktik. Dia memintaku menggantikannya praktik di SMA 3. “Tolonglah mba, aku benar-benar tidak sanggup. Aku sampai stress tidak bisa tidur.” Akhirnya kuterima permohonannya. Bismillaah, aku tidak berniat apa-apa kecuali menolong teman yang membutuhkan bantuan. Kulihat dia benar-benar tertekan, mungkin bayangannya sangat mengerikan harus praktik mengajar Bahasa Inggris di sekolah yang dikenal favorit di Kota Semarang. Aku berdo’a semoga ada hikmah di balik ini.
“Semester 2 dia ga bisa ikut ujian karena tidak ada uang untuk bayar administrasi. Padahal selama satu semester itu dia ikut perkuliahan, sayang sekali saat ujian malah ga bisa ikut. Teman-teman sudah sepakat mau membantu, tapi dia ga mau. Dia pilih untuk mengulang semua mata kuliah di semester berikutnya. Dia disegani di kelas, karena dia paling ‘bener’ dibanding yang lain. Waktunya sholat pasti ngajak sholat. Katanya si dulu setelah SMA mondok dulu lama baru kuliah. Usianya kan lima tahun di atas kita.” Tanpa kuminta, ia bercerita panjang lebar tentang si Kordes yang hendak melamar bu Korcam. Temanku itu memang suka membicarakannya, karena cerita hidupnya dianggap menginspirasi banyak orang. Apalagi bagi mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling yang tugasnya memang memberi motivasi pada anak-anak sekolah.
"Mba, waktu pembekalan KKN dulu. Mba kan tanya di depan to, saat itu aku reflek berseru sama dia “Mas, itu cocok mas buat kamu! Itu tipemu kan?!!” hihihi..." Aku berusaha menyembunyikan mukaku yang memerah. "Ah, kamu bisa aja, ngawur!" balasku. Tapi tentu saja masih kurahasiakan tentang khitbahnya padaku karena belum ada keputusan pasti.Entah apa reaksi temanku itu jika tahu ucapannya (akan) jadi kenyataan.
“Antum langsung datang saja ke orangtuaku.”
“Jadi jawabannya YA atau TIDAK?”
“Antum tanya saja orang tuaku.”
Terserah jika dia menganggapku menggantungkan nasibnya atau tidak memberi keputusan jelas. Bagaimana jika sudah jauh-jauh ke kampung lereng gunung di Brebes ternyata ditolak? Itu pikir belakangan. Yang penting aku ingin lihat keseriusannya.
“Celananya cingkrang tidak?” Tanya bapakku.
“Tidak.”
“Ada fotonya? Bapak mau pastikan dulu.”
Waduh, mana punya aku fotonya. Kalau ikhwan salafy sudah pasti tidak punya foto penuh satu badan. Tapi si Kordes bukan ikhwan salafy dan aku tidak punya fotonya. Aku tahu karakter Bapak yang tidak begitu saja langsung percaya. Cling! Aku ingat sesuatu. Ada oleh-oleh dari pemuda Kangkung untuk tim KKN yang kubawa, CD kenang-kenangan. Akhirnya kutunjukkan yang mana orangnya ke Bapak meski dengan muka merah merona menahan malu. “Kalau serius suruh kesini secepatnya. Kalu bisa janagn sampai akhir bulan.”
26 Januari 2009.
Pertengahan PPL aku izin pulang satu hari. Ada urusan yang tidak bisa kutinggalkan. Sang Kordes datang ke. Ketika aku membaca buku tentang khitbah (lamaran) atau nazhor (proses pra-nikah dimana si laki-laki boleh melihat wajah perempuan yang ingin dinikahinya), hatiku turut berdebar-debar. Tapi saat aku mengalaminya sendiri, aku tidak merasakan chemistry yang kubayangkan. Entahlah, yang jelas hingga proses usai aku tidak berani mengangkat muka. Entah mengapa.
Sepekan setelahnya, orangtuaku ke Semarang mengajakku ikut kunjungan balasan ke Demak. Naik taksi kami melewati jalanan yang tergenang diguyur hujan, ini kali pertama kulihat keadaan rumah sang Kordes. Subhanallah! Seperti yang si ibu TU katakan. Bagaikan bumi dan langit dibanding rumahku. Aku juga baru mengenal Ayah Ibunya. Saat khitbah ia meminta orang lain yang meminangkan, wali murid saat ia masih mengajar di pesantren. Namun itu tidak merubah keputusan orangtuaku. 2 April 2009. Bapak dengan tegas menentukkan tanggal pernikahan kami….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar