Sabtu, 27 April 2013

Mencari Serpihan Hati "Sebuah Episode Panjang" (1)



   “Bapak tidak akan pernah setuju jika kamu menikah dengan laki-laki yang satu aliran”. Sesaat kalimat itu membuat nafas serasa tertahan. Terbayang berbagai ketakutan akan nasib diri ini jika harus bersuamikan laki-laki pilihan orangtua. Mungkinkah jilbab besar ini akan bertahan melekat di tubuh ini? Mampukah bertahan hidup di lingkungan yang sarat dengan syubhat dan menganggap diri ini sesat? Haruskah mengikuti mereka mempraktikan berbagai macam ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah? Dan serentetan ketakukan-ketakutan lain. Ya Rabbi, jangan biarkan aqidah lurus ini lepas dari genggaman. Namun kemudian terngiang nasihat dari seorang ummahat, “ Ujian adalah sunatullah bagi siapa yang memegang kebenaran. Ujian kita belum seberapa dek, dibanding para shahabat dan orang-orang terdahulu. Ingatlah apa yang dikatakan Rasulullah, memegang sunnah bagaikan memegang bara api. Semakin kita genggam maka akan makin terasa panas. Jika ujian kita datang dari orangtua, maka tetaplah berbuat baik. Jangan sekali-kali membuat mereka sakit hati. Berakhlaklah sebaik mungkin. Penuhi hak-hak mereka, sambil terus berdo’a. karena Allah yang membolak-balikkan hati. Tidak perlu mengharap mereka meyakini apa yang kita yakini, mereka mau menerima kita, itu sudah cukup.”
Maka, dengan hanya berharap pertolongan Allah kutegarkan diri ini menghadapi situasi-situasi sulit. Kusibukkan waktu liburku dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Sehingga nyaris aku tidak pernah keluar rumah. Berangkat ke kota lumpia adalah saat-saat yang kunantikan. Karena di sana aku merasa nyaman dengan segala yang kulakukan. Meski air mata ini pasti bercucuran melihat adik kecilku menangis saat kutinggal pergi. Saat pertama aku pergi ke Semarang untuk kuliah, usianya baru satu setengah tahun. Ia sampai sakit selama sebulan. Selalu mengigau memanggil namaku, tiap melihat orang berjilbab dikiranya itu diriku.
Hari berganti, tahun berlalu. Cita-citaku untuk bisa menikah di semester empat sepertinya belum Allah izinkan. Dengan segenap prasangka baik, aku terus berdo’a, mungkin Allah belum memperkenankan aku bertemu dengan calon suamiku saat ini. Allah akan mempertemukan kami saat masing-masing kami telah ‘siap dan layak’ di mata Allah. Karena di mata manusia, keinginanku untuk menikah dini seringnya malah diremehkan. “Kuliah aja belum kelar, emangnya enggak ingin kerja dulu untuk membalas ortu?”, rata-rata komentar mereka. “Emang udah ada calonnya?” Tanya seorang temanku. “Belum”, jawabku singkat. Ingin menikah bukan berarti sudah punya calon apalagi pacar. Banyak yang pacaran tapi tidak punya komitmen untuk menikah sama sekali. Aku hanya ingin tulus dalam bercita-cita. Menikah adalah sunnah. Menikah berarti meraup pahala dan segala kebaikan yang Allah janjikan. Menikah adalah jalan selamat bagi gejolak jiwa muda. Dan… menikah adalah jalan keluar untuk diriku tetap kokoh beragama.
Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Wanita musyrik untuk laki-laki yang musyrik. Wanita pezina untuk laki-laki pezina. Itulah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an. Maka, aku yakin Allah akan memberikan jodoh laki-laki sholeh pula jika seorang wanita berusaha menjadi shalihah. Aku pun tidak tersibukkan dengan memikirkan ‘siapa dia’ yang akan jadi calon suamiku. Tapi aku berusaha menyibukkan diri untuk menjadi muslimah sebaik-baiknya. Biarlah dianggap kuper karena tidak pernah pergi jalan-jalan malam Mingguan. Tak apalah dianggap mahasiswa 3K (Kos, Kampus, Kantin), sengaja aku tidak mengaktifkan diri di organisasi kampus manapun. Karena aku tidak ingin laki-laki yang Allah persiapkan untukku adalah pemuda yang suka menghabiskan malam Minggunya untuk begadang atau sekadar nongkrong-nongkrong. Atau mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kampus, sibuk menjadi aktivis hingga lalai sholat berjama’ah. Sudah risih rasanya bila berada di tempat yang laki-laki dan perempuannya berbaur jadi satu. Yah.. memang tidak bisa 100% menghindari ikhtilath (berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat).  Saat terjebak di keramaian atau saat sendiri mengayuh sepeda melewati jalan-jalan yang mulai sepi di malam hari, kadang terbersit di benak “Ya Allah, di mana gerangan ia? Yang tidak akan membiarkanku berada dalam keadaan seperti ini. Karena suami sholeh akan menjaga istrinya sebaik-baiknya.”
Meskipun ultimatum keras telah dilontarkan, bahwa tidak akan diijinkan membawa sepeda motor jika ternyata digunakan untuk pergi ta’lim, aku berusaha menghadiri majelis-majelis ilmu yang menyirami dahagaku akan ilmu yang haq. Wahai Ayah Ibu, bukan karena aku tidak taat pada kalian. Tapi ketaatanku pada Allah dan Rasul-Nya harus aku dahulukan. Ilmu tentang aqidah, bertauhid yang benar, ilmu fiqih yang shohih, ilmu tafsir dan hadits serta adab dan akhlak. Bukankah ilmu-ilmu itu wajib dipelajari oleh seorang muslim? Masalah pakaianku, insya Allah suatu hari nanti engkau akan tahu bahwa jubah kedodoran dan jilbab besar berwarna gelap ini adalah pakaian terbaik untuk putrimu.
Tapi aku maklum dengan kekhawatiran mereka. Saat itu di tengah masyarakat sedang hangat-hangatnya isu teroris. Apalagi di kota tempatku kuliah katanya menjadi tempat persembunyian gembong teroris paling dicari. Jika saja orangtuaku mau mendengarkan penjelasanku bahwa salah satu prinsipku adalah taat pada pemerintah. Aku tidak suka ikut demo atau mengkritik pemerintah secara terbuka. Apalagi melakukan aksi terror. Karena akidah Ahlussunnah  yang kupelajari salah satunya adalah berpegang teguh pada waliyul ‘amr (pemerintah yang berkuasa). Aku pun diam saja saat berangkat dengan hanya dibekali uang seadanya. Dengan uang seadanya, gerakku akan terbatas. Mungkin itu pikir mereka. Aku juga tidak akan bisa membeli baju-baju dan kerudung besar. “Kalau kurang, sms mama ya..” bisik ibuku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun tahu, jika perasaan ibu lebih lembut. “Jangan khawatir, aku bisa pinjam teman. Meraka semua baik kok”, hiburku.
…..
“Seandainya kamu tidak terlalu agamis, pasti kamu akan mendapatkan segalanya”. Itulah SMS balasan yang kuterima saat kuberitahu bahwa IP-ku semester ini 3,84. Respon yang sangat jauh dari harapan. Padahal yang ingin kutunjukkan adalah sebaliknya. Bahwa dengan penampilanku yang seperti ini - dianggap ‘nyeleneh’ di kampus- aku tetap bisa mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Meskipun selama ini memang bukan IP yang kucari, setidaknya dosen-dosenku tidak terlalu mempermasalahkan penampilanku –tentunya karena ijin Allah semata. Ya, Allah ‘azza wajjala benar-benar memberikan kemudahan. Aku tidak mengalami seperti cerita-cerita yang kudengar dari beberapa teman akhwat bahwa mereka kadang dipersulit oleh dosen yang kurang suka dengan penampilan ‘brukut’, yang kata orang hanya pantas dipakai di ‘zaman onta’ saja.
Sedikit demi sedikit Allah Ta’ala juga membukakan pintu rizki untukku. Meski aku bisa saja memaksa meminta uang saku lebih tapi tidak akan kulakukan. Salah satu cara mengambil simpati orangtuaku juga dengan cara tidak banyak meminta atau bahkan ketergantungan pada mereka. Dari mulut ke mulut, banyak saudara ibu kosku yang minta les privat untuk anak-anak mereka. Aku tidak perlu lagi kerja di rental komputer atau menitipkan makanan ringan di kos teman-temanku. Pengajuan beasiswa di kampus juga Alhamdulillah cair. Tidak hanya itu kemudahan yang Allah berikan. Di pertengahan semester lima, orangtuaku datang mengantarkan sepeda motor. Mereka mulai lunak setelah tahu aku jadi guru les. Kesibukanku yang bertambah memang membuat kaki ini kadang pegal harus mengayuh sepeda kesana kemari. Tapi bukan itu yang membuatku senang, sekarang aku bisa pergi ta’lim dengan mudah. Tanpa harus naik angkot berkali-kali ke Tembalang. Aku juga bisa datang ke tempat ummahat yang bisa mengajariku bahasa Arab.
Salah satu ilmu yang aku kejar tentu saja adalah ilmu untuk bekal kehidupan berumah tangga. Karena Islam agama sempurna takkan melewatkan tuntunan yang satu ini. Jika kebanyakan orang menyiapkan pernikahan dengan menghitung bekal materi, maka seorang muslim hendaknya lebih memikirkan bekal yang tak kalah penting yaitu ilmu dien. Alhamdulillah dari SMA, aku sudah mengutarakan pada orang tuaku. Jika kelak aku menikah maka tidak akan ada make-up menor dan tebal di wajahku, juga busana ribet yang membalut dengan serangkaian tata cara adatnya.
Di kampus, orang-orang ramai membahas pendaftaran KKN. Waktu semester 4 aku hampir saja mendaftar KKN. Meskipun memenuhi syarat, tapi tidak bisa kubayangkan harus ber-KKN bersama angkatan senior. Sehingga keinginan lulus 3,5 tahun pun kuurungkan. KKN dengan teman-teman seangkatan mungkin akan lebih enjoy karena mereka sudah memahamiku dalam keseharian.
Pagi masih diselimuti kabut saat aku bersiap diri. Ya, hari ini pembekalan KKN dari kampus. Pagi itu yang kutahu aku harus menyiapkan energi lebih karena acaranya mungkin sampai sore bahkan malam. Namun hari itu, ternyata Allah juga menyiapkan sebuah ‘skenario’ yang tidak pernah terbayang oleh akalku sebelumnya. Skenario  yang turut menentukan jalan hidupku ke depan. 
Hari itu… penghujung semester enam. Hati ini mulai diselimuti kegalauan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar